Pram


Pramoedya Ananta Toer, menyebut nama itu, aku terkagum bukan kepalang.  tak pernah sekalipun aku bertemu dengannya, atau bahkan hanya sekedar berpapasan. Namun kekaguman dicipta bukan hanya disebabkan oleh pertemuan fisik. Ternyata kekaguman hadir dikala karya menyentuh rasa. Melalui karyanya (Pram), aku mampu tak tersadarkan hingga merasuk kedalam kehidupan kolonial. Yang aku rasakan bukan lagi aku sedang membaca, Namun seolah aku sedang hidup menjadi sosok yang ia ceritakan. Beragam novel pernah aku baca, karya Pram yang masih aku anggap yang terhebat dari segala karya hebat.

Menurutku, ia bukan hanya sekedar menulis, tapi ia sedang merangkai suatu cincin yang dari berlian yang abadi. Ia seolah menyusun kata yang indah, lalu ia rangkai menjadi kalimat hingga menjadi cerita terbaik. Kekagumanku bukan hanya selesai pada permainan kata-katanya, penokohan hingga alur yang ia mainkan layaknya simfoni hebat semakin menegaskan kekagumanku.  

Tetralogi Buru adalah salah satu maha karyanya yang kini siapapun bisa petik. Didalamnya ia ceritakan sebuah perjalanan sejarah kehidupan Minke yang berlatar belakang pada zaman kolonalisme. Terkadang kita sulit mempelajari sejarah karena kita tak pernah hidup dalam apa yang sejarah ceritakan. Namun, pram memutarbalikkan itu. Dalam karyanya ia ceritakan apa yang terjadi pada masa lalu, sehingga orang tahu bagaimana kondisi masa lalu sesungguhnya tak lebih baik daripada masa kini. Hanya perjuangan dan waktu yang membedakan.
Ia lahir di Blora Jawa tengah, tepat pada masa dimana negara ini masih terbelenggu oleh kolonialisme. Kemerdekaan 1945 tidak membuat hidupnya merdeka, Ia tetap terbelenggu. penjajah asing telah menyingkir, kini giliran kekuasaan politik membuatnya hidup dalam belenggu penjara. Mungkin pekat bau besi penjara beberapa pulau telah ia ketahui aromanya, hingga ia mendekam di Buru dan disana ia menulis sebuah karya yang kini sering didengar  dengan sebutanTetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca).
Mungkin dia adalah sosok pribumi yang sudah sepatutnya aku sandingkan dengan seorang Havel atau Mandela, semangat kondisi perjuangan mereka nyaris sama meskipun jalan pandang mereka tak sama. Tapi kehidupan mereka sama-sama diwarnai oleh jeruji penjara.  Havel adalah seorang yang pernah dipenjara karena kata-katanya, namun ia berkuasa pula karena kata-katanya. Sedangkan Mandela adalah tokoh politik besar dunia yang telah menutup lubang tabu politik Apartheid di Afrika Selatan dari perkata-kataaanya pula. Namun, mandela dan Havel sama-sama pernah berkuasa setelah mereka dipenjara. Sedangkan Pram tidak, ia masih menulis, kuasanya hanya ada dalam kata-kata tulisannya.
Aku pernah dengar dari seorang teman, Pram adalah seorang sastrawan besar Indonesia  yang nyaris menggenggam Nobel Price dalam kategori sastra. Sebuah penghargaan besar bagi mereka yang berprestasi dalam dunia sastra. Akan tetapi, situasi dan kondisi waktu itu tak berpihak kepadanya. Mungkin tuhan menakdirkan keindahan tulisannya tak layak hanya mendapatkan Nobel, namun tuhan lebih memberkati keindahan tulisannya untuk dihargai kehidupan abad berapapun. Tulisannya telah mengisi kehidupan, ia selaraskan sesuai dengan yang ia ceritakan pada penuturan Jean Marais kepada Minke. Dan meskipun ia telah wafat, “suaranya takkan pernah padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari”. Tutur Nyai kepada Minke dalam Anak Semua Bangsa.    

Kembang Kertas, 25/01/2014
Muhammad Luthfil Hakim


Comments

Popular posts from this blog

LPJ Divisi Pendidikan Penalaran HIMAP

Mencerdaskan Ospek