“Analisa Terhadap Rencana Penyelenggaraan Pemilu Serentak dari Perspektif Politik”



“Wacana Pemilu Serentak 2019”
(oleh: M Luthfil Hakim)
Pengantar
Dewasa ini, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat keputusan baru perihal pemilu serentak (23 Januari 2014). Dalam putusannya tersebut, MK mengabulkan permohonan dari pemohon yang meninjau adanya beberapa pasal dalam undang-undang (UU) yang inskonstitusional dengan Undang-Undang Dasar (UUD). Alhasil, MK memberikan sebuah keputusan berupa penyelenggaraan pemilihan umum secara serentak pada tahun 2019 dan pemilu selanjutunya.[1] Keputusan ini membawa banyak perdebatan publik, dikarenakan banyak publik yang menjustifikasi keputusan tersebut, dan di satu sisi banyak pula publik yang kontra dengan putusan MK tersebut. Maka dari itu, dibutuhkan sebuah analisis kritis yang mampu menganalisa keputusan MK tersebut dari sudut pandang politik. Sudut pandang politik dirasa sebagai pisau analisa yang tepat oleh karena dalam perdebatan ini pemilu merupakan sebuah agenda yang syarat dengan nilai-nilai politis.

Di sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, pemilu menjadi sebuah agenda yang penting untuk dilaksanakan. Hal ini dikarenakan pemilu merupakan sebuah prasyarat bagi negara yang berfaham demokrasi, dan demokrasi sendiri merupakan sebuah sistem yang menjunjung tinggi suara rakyat.[2] Senada dengan hal tersebut, Robert Dahl menyatakan bahwasanya sebuah negara yang menganut sistem demokrasi harus memiliki sebuah perwujudan seperti partisipasi dan kontestasi yang mewujud pada dibukananya kran sistem multipartai dan pemilu yang bebas dan adil.[3] Dari agenda pemilu inilah sejatinya nilai-nilai dari demokrasi mampu diterapkan dan dipetik hasilnya. Karena dalam pemilu warga negara akan terlibat aktif di arena politik.
Sebagai agenda penting dari sebuah negara demokrasi, maka pemilu harus dilaksanakan dengan sistem penyelenggaraan yang baik. Sistem penyelenggaraan yang baik sendiri merupakan suatu penyelenggaraan pemilu yang mampu memberikan sebuah dampak positif terhadap perubahan Negara Indonesia. Karena, ketika pemilu memiliki sebuah sistem penyelenggaraan baik, maka pemilu tersebut akan dekat dengan kekuatan legitimasi masyarakat terhadap pemerintahnya.[4] Perdebatan mengenai sistem penyelenggaraan inilah yang kini sedang banyak diperbicangkan oleh publik. Banyak publik yang menilai bahwa buruknya kinerja pemerintahan hari ini merupakan akibat dari penyelenggaraan pemilu yang buruk. Hal ini ditunjukkan oleh makin fenomenalnya tragedi patologi birokrasi, seperti halnya korupsi.
Perdebatan mengenai sistem pemilu tidak akan ada habisnya sebelum pemerintah mampu mendogkrak kinerjanya dengan baik. Hal ini dikarenakan masyarakat sebagai pemilih akan menjadikan kinerja pemerintah sebagai rujukan dalam rasionalitas pilihannya. Masih banyaknya angka golput yang terjadi pada era reformasi ini makin meneguhkan bahwa masyarakat belum sepenuhnya optimis melihat kinerja pemerintahan selanjutnya. seperti diketahui bahwa hinggga saat ini partisipasi pemilih tertinggi dalam pemilu di Indonesia terjadi pada tahun 1955 dengan partisipasi 91 persen lebih.[5] Oleh karena itu, haruslah kiranya menjadi sebuah evaluasi bersama antara Komisi Pemilihan Umum, Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif untuk mampu menghadirkan Pemilu dengan sistem yang baik.
Pembahasan mengenai pemilu serentak telah menjadi wacana sebagai salah satu upaya untuk menghadirkan sistem penyelenggaraan pemilu yang baik di Indonesia. wacana ini pada mulanya banyak digagas oleh kaum negarawan yang didalamnya diisi oleh para akademisi. Salah satunya adalah Efendi Ghazali, pakar komunikasi politik.[6] Gagasan ini muncul atas nama kegelisahan masyarakat yang melihat adanya inefisiensi dalam penyelenggaraan pemilu. Sebagaimana diketahui di Indonesia sedikitnya ada dua kali penyelenggaraan pemilu secara nasional (Pilpres dan Pileg) dan dua kali penyelenggaraan pemilu tingkat daerah (Pilwali dan Pilgub). Penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut terselenggarakan dengan jumlah dana puluhan triliun, misalnya saja pemilu 2009 yang menghabiskan dana 47,9 triliun.[7] Namun, besarnya anggaran dana ini justru dalam hasilnya dirasa tidak mampu memberikan suatu dampak berupa adanya kepempinan politik yang baik dari politisi yang terpilih. Pemborosan dana ini tidak hanya terjadi dalam ruang lingkup penyelenggaranya saja. Akan tetapi, para kandidat juga dirasa banyak melakukan pemborosan anggaran dana kampanye. Seperti yang diutarakan oleh Ganjar Pranowo, bahwa harus ada nilai sebesar 1, 2 triliun untuk mampu memenangkan diri dalam Pilkada. Hal ini tentunya dapat dijadikan bahan evaluasi dari marakanya korupsi dalam tubuh birokrasi.[8]
Perihal Pemilu
            Sebelum lebih jauh menggali lebih dalam mengenai perdebatan dari penyelenggaraan pemilu, ada baiknya jika telebih dahulu dibahas mengenai konsepsi pemilu secara teoritis. Jika dirujuk secara definitif, pemilu menurut Sigit Pamungkas adalah arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di Pemerintahan yang didasarkan pada pilihan formal dari warga negara yang memenuhi syarat[9]. Dalam definisi ini Sigit menuliskan sebuah arena kompetisi, yang dimaksukannya lebih mengarah kepada ketersediaan ruang publik yang dimana didalamnya akan terisi suatu kompetisi dari wakil publik untuk dipilih sebagai pewakilan dari publik yang memilih. Sedangkan menurut Hikam, untuk mengerti perihal pemilu maka kita harus melihatnya dari dua dimensi.  Pertama, pemilu adalah sarana artikulasi kepentingan warganegara untuk menentukan wakil-wakil mereka. Dalam pengertian ini, maka pemilu merupakan juga sarana evaluasi dan sekaligus kontrol baik langsung maupun tidak langsung, terhadap pemerintah dan kebijakan yang dibuatnya.  Adapun yang kedua ialah sebagai suatu sarana untuk memberikan dan memperkuat legitimasi politik pemerintah, sehingga keberadaan kebijakasanaan dan program-program yang dibuatnya dapat diwujudkan dengan lebih mudah dan mempunyai ikatan sanksi yang kuat.[10] Dari sisi penulis dengan merujuk dari kedua argumentasi diatas, berpandangan bahwa pemilu merupakan sebuah agenda yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk memilih wakil-wakil rakyat sesuai dengan konstitusi, untuk menjamin sistem pemerintahan yang demokratis.
            Pemilu merupakan sebuah tolak ukur dari penyelenggaraan demokrasi di negara demokrasi,[11] maka dari itu pemilu memiliki suatu indikator keberhasilan dari penyelenggaraanya. Pemilu dikatakan demokratis, menurut Butler terdapat tujuh indikator utama. Yakni adanya hak suara dari semua orang dewasa, dilakukan dalam waktu yang teratur dengan batasan yang jelas, semua kursi di legisletif merupakan subjek yang dipilih dan di kompetisikan, tidak ada kelompok yang ditolak kesempatannya, penyelenggara pemilu harus bersikap adil, pilihan dilakukan dengan sistem yang baik, dan yang terakhir adalah keamanan dari hasil pemilu.[12]  Selanjutnya, Mackanzie menyebutkan sedikitnya ada lima indikator sebuah pemilu dikatakan sukses, yaitu: adanya pengadilan yang independen, adanya lembaga penyelenggara yang baik dalam menyelenggarakan pemilu, adanya pembangunan sistem kepartaian yang teroganisir, penerimaan komunitas politik terhadap aturan main tertentu dari struktur dan pembatasan dalam pencapaian kekuasaan. Dalam hal ini agaknya penulis memiliki pandangan bahwa perlu satu indikator lagi yang menentukan keberhasilan pemilu, yaitu terpilihnya wakil-wakil rakyat yang mampu memuaskan rakyat dengan formulasi kebijakannya.
Perspektif Politik
            Dalam memandang fenomena ini penulis lebih mengedepankan politik sebagai pisau analisa untuk mengkaji permasalahan. Dikarenakan permasalahan ini merupakan permasalahan yang lebih menarik jika diamati dari sudut pandang politik dibandingkan dari sudut pandang hukum. Hal ini juga disebabkan oleh apabila nantinya lebih dikedepankan aspek hukumnya maka akan terjadi analisa yang bersifat kaku. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sudah pasti sah dan tidak dapat diganggu gugat, oleh karena segala keputusan MK selalu didasarkan kepada UUD 1945. Sehingga, ketika MK telah memutuskan sebuah keputusan meski keputusan itu pada dasarnya bersifat tidak wajar secara hukum maka keputusannya akan tetap sah.
            Jika politik digunakan sebagai pisau analisa, secara otomatis maka penulis akan mengedepankan metodologi dalam Ilmu Politik. Adapun metodologi dalam ilmu politik yaitu:  pendekatan legal institusional, perilaku, neo-Marxis, ketergantungan, pilihan rasional dan institusionalisme baru.[13] Dari beberapa pendekatan ini penulis akan mencoba bagaimana menelaah dan menganalisis secara pandangan politik dari permasalahan yang ada. adapun pendekatan ini merupakan sebauh pendekatan yang menjadi garis besar penulis untuk menentukan langkah dalam setiap mengambil sudut kesimpulan.
Pemilu Serentak
            Pada awal mulanya Pemilu serentak digagas oleh Aliansi Masyarakat Sipil yang didalamnya terdapat tokoh yang paling penting terkait isu ini, yaitu Effendi Gazali. Pemilu serentak sendiri menurut Hamdan Zulfa adalah pemilu dengan satu tarikan nafas.[14] Bahwa penyelenggaraan pemilu yang selama ini memisahkan waktu pelaksanaan antara pemilukada, pemilu legislatif dan pemilu presiden harus diselenggarakan secara bersama-sama. Jadi, dalam satu agenda pemilu setidaknya satu TPS memiliki lima kotak suara yang nantinya diisi oleh surat suara pemilihan anggita DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten, Presiden dan Wakil Presiden, sementara masih diupayakan lebih lanjut mengenai pemilihan umum kepala daerah untuk masuk dalam pemilu satu waktu ini.
Permohonan ini dilakukan Aliansi Masyarakat Sipil sebagai wujud atas keresahan penyelenggaraan pemilu yang selama ini dinilai tidak mampu menghadirkan perubahan yang signifikan terhadap negara Indonesia. Selain itu, pemilu di Indonesia justru malah menghadirkan keterwakilan politik yang dekat dengan korupsi. Hasilnya pemilu tidak lagi dipercaya masyarakat sebagai penanaman bibit demokrasi yang dinantikan buah hasilnya, tapi pemilu kini telah menajadi sebuah presepsi bersama bahwa ajang ini tidak lebih dari seremonial belaka. Hal ini dipertegas juga oleh Donny Gahral Adian dimana beliau menyatakan bahwa politik demokrasi pun bukan lagi pembangunan proyek-proyek kolektif (kesejahteraan umum), melainkan festifal individualisme dan proseduralisme belaka.[15] Pernyataan dari dosen Filsafat Universitas Indonesia tersebut pantas untuk direfleksikan bersama. Bahwa selama ini demokratisasi yang bersifat proseduralisme tak mampu memberikan sebauh implikasi berupa kesejahteraan bagi masyarakat. Oleh karena, itu gagasan mengenai pemilu serentakpun mulai dibahas seiring akan hal ini.
            Akan tetapi, gagasan pemilu serentak tidak lantas mendapatkan jalan mulus begitu saja dari Pemerintah dan publik. Hal ini terjadi lantaran banyak perdebatan yang masih mengiringi perjalanannya. Setelah disahkan oleh MK pada 23 Januari lalu, pemilu serentak kiranya bukan diselenggarakan pada tahun 2014, melainkan tahun 2019. Hal ini dilakukan dengan dalih bila pemilu serentak dilakukan pada 2014, maka pemerintah dan KPU hanya memiliki waktu satu setengah tahun untuk melaksanakan sosialisasi pemilu ini. Hal tersebut tentunya akan menimbulkan kekacauan politik yang terjadi di tataran masyarakat berupa kebingungan dalam menentukan pilihan dan kebingungan dalam mencoblos. Bayangkan, jika harus ada banyak elemen dalam satu waktu yang berkampanye dan dalam waktu itu pula masyarakat sudah harus menentukan pilihannya. Dan pemilu juga memberikan dampak terhadap kekacauan politik di tubuh elit politik (partai politik). Karena apabila pemilu dilakukan serentak maka akan membingungkan peta koalisi pencapresan dan kebingungan KPU dalam menentukan siapakah yang berhak mengusung presiden melalui presidential treshold. Perlu diketahui bahwa yang menjadi rujukan prosentase keberhakan parpol lolos PT adalah melalui prosentase hasil dalam pemilu legislatif.
Pertegasan mengenai akan adanya kekacauan di Pemilu serentak 2014 ini dikuatkan oleh argumentasi MK. melalui Harjono, MK menyatakan bahwasanya menjadi sebuah keputusan yang sulit apabila pemilu serentak harus dilakukan pada 2014. Karena dalam keputusan ini MK tidak hanya berpikir secara hukum, akan tetapi juga berpikir dalam aspek politik demi menjamin pelaksanaan pemilu agar tidak terjadi kekcauan. Misalnya dalam recana pengunduran pemilu selama tiga bulan agar pemerintah dan DPR mampu merancang UU, akan tetapi tiga bulan ini akan menjadi sangat membingungkan mengenai waktu pelaksanaanya dan sebagaimana diketahui masa jabatan presiden sudah habis pada september 2014.[16]
Meski putusan MK dinilai bijaksana demi meminimalisir kekacauan. Namun, desakan  pemilu serentak untuk dilaksanakan pada 2014 semakin gencar. Dalam hal ini pandangan hukum lebih dikedepankan, karena dalam logika hukum apabila sebuah putusan hakim konstitusi telah diputuskan maka sudah sewajarnya keputusan tersebut harus dilaksanakan mulai dari hari persidangan putusan. Selain itu, putusan MK yang menjustifikasi pemilu serentak ini secara otomatis mendelegitimasikan pemilu 2014. Karena MK sependapat dengan masukan pemohon mengenai UU pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang inkonstitusional dengan UUD 1945. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa hasil dari pemilu 2014 cidera secara hukum, lantaran pemilu tersebut tidak sesuai dengan konstitusi. Sementara itu perbedaan argumentasi mengenai pemilu serentak ini tidak berhenti disitu saja. Setidaknya beberapa pandangan politik menyatakan bahwa keputusan ini menjadi sebuah keputusan yang tidak masuk akal, dan disatu sisi keputusan ini sangat penting demi keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Kontra Terhadap Keputusan
            Jika kita analisis secara seksama, maka kita akan mendapatkan suatu pandangan bahwa putusan ini banyak menimbulkan sis negatif. Pertama adalah mengenai ketidakjelasan pemilukada yang akan dilaksanakan. Perbedaan waktu pelaksanaan pemilukada dari satu kabupaten dan provinsi satu dengan yang lainnya menyebabkan pemilukada sulit untuk diikutkan dalam kontestasi pemilu serentak. Sebagaimana argumentasi Effendi Gazali yang memaparkan bahwa nantinya akan ada dua kali pelaksanaan pemilukada serentak, yakni pada tahun pemilu (ex: 2014 dan 2019) dan satunya lagi berada diantara pertengahan kurun waktu penyelenggaraan pemilu, misalnya 2016).[17] Adanya dua kali pemilukada ini memaksa para pemimpin didaerah harus memperpendek masa jabatannya atau justru diperpanjang masa jabatannya. Apabila terdapat kepala daerah yang sisa jabatannya kurang dari 1,25 tahun akan merapat ke pemilu serentak 2014, sedangkan yang lebih dari 1,25 tahun akan merapat ke pemilukada serentak 2016.
            Kedua, adanya keputusan ini membuat pemilu 2014 rawan untuk tidak dipercaya dan dipersidangkan. Seperti yang telah diutarakan oleh MK pada paragraf diatas yang mana keputusan pemilu serentak 2019 diambil atas dasar argumentasi inkonstitusionalisme, maka hasil pemilu tahun 2014 juga akan mudah dipersidangkan dikarenakan tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat. Keputusan MK yang tidak wajar telah memberikan dampak berupa ketidak percayaan masyarakat terhadap 2014 semakin tinggi, selain itu juga keputusan ini membuat hasil pemilu 2014 bisa dipersidangkan. Bagaimana tidak, siapapun yang terpilih nantinya merupakan orang-orang yang dipilih dari pemilihan umum yang tidak sesuai dengan konstitusi.
            Ketiga, yang menjadikan kontradiksi dari pemilu serentak ini ialah mengenai penjunjungan tinggi esensi dari pesta demokrasi. Hal ini terjadi lantaran opini yang menguatkan permohonan pemilu serentak adalah mengenai banyaknya biaya pemilu. Biaya pemilu yang tinggi seharusnya sudah menjadi sebuah hal yang wajar, dikarenakan pada ajang ini sejatinya merupakan sarana pesta demokrasi yang mampu memberikan kepuasan terhadap masyarakat untuk berpolitik aktif, dan dapat melegitimasi pemerintah dari masyarakatnya. Semakin tinggi tingkat partisipasi pemilih maka semakin tinggi pula tingkat legitimasi yang diberikan oleh masyarakat terhadap wakilnya. Pada pemilu 2014 setidaknya pemerintah telah menggelontorkan dana 17 triliun.[18] Hal ini tentunya telah dilakukan penghematan sebesar seratus persen lebih daripada pemilu 2009 yang terselenggara dengan jumlah anggaran 47,9 triliun. Pembiayaan pemilu triliunan rupiah ini harus dicermati sebagai suatu bentuk pelayanan pemerintah terhadap optimalisasi ruang publik, yang mana diharapkan sebuah keputusan yang diambil dari publik dalam sebuah arena politik agar nantinya mampu dibuat kebijakan yang berpihak dengan publik. Selain itu juga, seperti nama sematannya yaitu pemilu sebagai pesta demokrasi jika kita rujuk maka akan dapat sebuah substansi mengenai demokrasi yaitu menurut Abraham Lincoln sebuah pemerintahan negara yang dibentuk dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.[19] Jika pemilu memang benar-benar diselenggarakan untuk rakyat maka sudah sewajarnya dilaksanakan dengan mahal.
            Keempat, adalah mengenai ketidak jelasan dari koalisi partai politik dan penentuan Presidential dan parlimantary Treshold. Hal ini dikarenakan selama ini PT dirujuk berdasarkan dari pemilu legislatif. Bila ambang batas 25 % pemilu presiden diperoleh dari hasil pemilu legislatif sebelum itu, maka ambang batas parlemen 3,5% diperoleh dari hasil pemilu legislatif pada lima tahun sebelumnya. Jika pemilu 2019 memang benar-benar dilaksanakan, maka tidak ada kejelasan mengenai apakah pemilu 2014 ini akan menjadi rujukan dari segala ambang batas di 2019. Karena pada 2019 pemilu presiden sudah dipastikan tidak bisa dirujuk berdasarkan pemilu legislatif pada tahun tersebut.
 Pro Terhadap Keputusan
            Disatu sisi banyak pihak yang justru pro atau mendukung dengan adanya keputusan MK ini. Pertama mengenai efisiensi anggaran yang dapat dilakukan jika pemilu serentak dilaksanakan. Menurut Republika penyelenggaraan pemilu bisa menyusutkan anggaran penyelenggaraan pemilu. Menurutnya, selama ini setidaknya 65 persen dari prosentase anggaran telah dianggarkan hanya untuk membayar pelaksana pemilu. Bayangkan, di Indonesia terdapat sebanyak 500 ribu TPS dalam setiap penyelenggaraan pemilu, dan sebanyak 3,5 juta panitia dikerahkan untuk melaksanakan pelaksanaan pemilu, dengan honor kurang lebih 300 ribu per orang telah mengakibatkan dana pemilu membengkak. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa pelaksanaan pemilu pada 2004 telah memakan biaya 55, 6 trilun, 2009 47,9 triliun,[20] dan 2014 masih 17 triliun. Nantinya melalui pemilu serentak setidaknya akan terjadi penghematan sekitar 150 triliun (jika dikalkulasikan pula dengan penyelenggaraan pilkada).[21]
            Kedua, Selain dapat menghemat biaya politik, pemilu serentak 2019 juga dapat memberikan jeda waktu terhadap partai politik untuk bersiap diri dalam pemilu serentak. Hal ini dipertegas oleh Sidarto politisi PDIP dan politisi lain dalam Majalah Majelis. Keputusan MK yang lebih condong untuk mengedepankan sisi politik ketimbang hukum ini dinilai mampu memberikan garansi terhadap legitimasi partai politik terhadap MK. Pada hakikatnya apapun yang diputuskan oleh MK merupakan sebuah keputusan final, dimana MK merupakan Lembaga Negara yang berhak mengartikan dan menafsirkan konstitusi. Seperti yang diketahui bahwa MK memandang bahwa pasal 6A UUD 1945 memiliki tafsiran berua sebuah pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden secara serentak. Keputusan ini menjadi sah meskipun telah disinggung sebelumnya menjadi sebuah keputusan yang inkonstitusional. Akan tetapi, karena hal ini yang memutuskan adalah MK maka semua menjadi perihal yang konstitusional di mata hukum.
Ketiga, atau yang terakhir adalah pemilu serentak dinilai mampu mengurangi korupsi. Sebagaimana yang banyak pemaparan data yang menyebutkan bahwa negara kita telah terjangkit penyakit korupsi yang akut. Merebaknya tindakan korupsi di Indonesia diperkuat oleh banyak data yang menegaskan bahwa korupsi menjadi masalah utama di Indonesia. Salah satu pertegasan data dari ingar bingar korupsi di Indonesia datang dari Kompas, yang menyebutkan bahwa setidaknya sepanjang tahun 2013 telah diangkat sebanyak 2.922 diksi mengenai korupsi di Harian Kompas. Banyaknya diksi korupsi ditahun 2013 agaknya bukan menjadi hal baru, ketika sumber data yang sama juga menyebutkan bahwa sepanjang tahun dalam era-reformasi diksi menegenai korupsi berada pada kisaran angka diatas dua ribu.[22] Hal ini tentu sangat mencengangkan bagi kita semua, kasus korupsi kini menjadi hal yang telah menjadikan masyarakat muak. Bayangkan, Setiap hari masyarakat akan disuguhi oleh berita korupsi dan korupsi. Data juga menyebutkan bahwa sepanjang 2004-2012 telah tersangkut kasus korupsi setidaknya 290 orang kepala daerah.[23] Sedangkan dalam ranah legislatif menurut Kejagung setidaknya 323 Anggota DPRD periode 1999-2004 menjadi tersangka Korupsi.[24] Beberapa pemaparan data inilah yang semakin menenggelamkan posisi Indonesia dalam peringkat negara dengan tingkat korupsi terparah di Dunia. Hal ini ditegaskan oleh lembaga anti korupsi internasional yaitu Transparency International (TI), dalam pemaparannya TI menyebutkan Indonesia dalam posisi 63 sebagai negara terkorup di dunia.[25] Setidaknya sampai 2012 sudah 4,8 Trilun kerugian negara sebagai buah hasil tindakan korupsi oleh penguasa.[26]
Hal ini tentunya sudah sepatutnya untuk menjadi refleksi bahwasa tingginya biaya politik yang dikeluarkan oleh Partai Politik mampu mengakibatkan logika berfikir buruk untuk mencari untung di dalam kekuasaan. Jika kita amati secara seksama maka pemilu serentak nantinya akan hadir dengan formulasi biaya politik murah dari parpol, karena partai politik praktis hanya mengagendakan dana kampanye dalam satu waktu saja. Sehingga, Partai Politik tidak lagi mencari untung di panggung kekuasaanya setelah mengalami kerugian pada masa kampanye.
Daftar Pustaka
Buku
Mohtar Haboddin dan Fathur Rahman, Gurita Korupsi Pemerintah Daerah, Yogyakarta: Kaukaba, 2013
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2008
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010
Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, Jogjakarta: JIP, 2009
Syamsudin Haris, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: YOI, 1998
`Donny Gahral Adian, Demokrasi Substansial. Jakarta: Koekoesan, 2010
Diane R & Abigail Thernstrom. Demokrasi Klasik & Modern. Jakarta: Buku Obor, 2005
Media Online




Dikutip dari: www.Republika.co.id.  Pada tanggal 06/04/2014

            Media Cetak

Kompas, 2 November 2007
Kompas,31 Oktober 2012
Majalah Majelis, Pemilu Serentak 2019. MPR RI,Edisi Februari 2014
kompas, 2 november 2007 
Kompas, 25 Oktober 2013.


[2] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2008. Hal. 461
[3] Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010. Hal. 118
[4] Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, Jogjakarta: JIP, 2009. Hal 13
[5] Ibid.Hal. 63
[7] Kompas, 2 November 2007
[8] Kompas,31 Oktober 2012
[9] Op. Cit., Sigit Pamungkas. Hal. 1
[10] Syamsudin Haris, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: YOI, 1998, Hal. 51
[11] Op. Cit.,Miriam Budiarjo. Hal. 461
[12] Op. Cit., Sigit Pamungkas, Hal. 12
[13] Op. Cit.,Miriam Budiarjo. Hal. 71
[14] Majalah Majelis, Pemilu Serentak 2019. MPR RI,Edisi Februari 2014. Hal. 3
[15] Donny Gahral Adian, Demokrasi Substansial. Jakarta: Koekoesan, 2010. Hal. Pengantar
[16] Dikutip dari: http://www.tribunnews.com/nasional/2014/01/25/mk-putusan-pemilu-serentak-2019-untuk-hindari-kekacauan . pada tanggal 06/04.2014
[17] Op, Cit.,Kompas 31 Oktober
[19] Diane R & Abigail Thernstrom. Demokrasi Klasik & Modern. Jakarta: Buku Obor, 2005 Hal. 205
[20] kompas, 2 november 2007 
[21] Dikutip dari: www.Republika.co.id.  Pada tanggal 06/04/2014
[22] Kompas, 25 Oktober 2013.
[23] Ibid.,
[24] Mohtar Haboddin dan Fathur Rahman, Gurita Korupsi Pemerintah Daerah, Yogyakarta: Kaukaba, 2013,                   hal. 22
[26] Kompas, 25 Oktober, Op. cit.,  

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

LPJ Divisi Pendidikan Penalaran HIMAP

Tugas Etika Pemerintahan B.IPM 3

“Semangat Kemerdekaan Menuju Pesta Demokrasi Jatim”