“Analisa Terhadap Rencana Penyelenggaraan Pemilu Serentak dari Perspektif Politik”
“Wacana Pemilu Serentak 2019”
(oleh: M Luthfil Hakim)
(oleh: M Luthfil Hakim)
Pengantar
Dewasa ini, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat keputusan
baru perihal pemilu serentak (23 Januari 2014). Dalam putusannya tersebut, MK
mengabulkan permohonan dari pemohon yang meninjau adanya beberapa pasal dalam
undang-undang (UU) yang inskonstitusional dengan Undang-Undang Dasar (UUD).
Alhasil, MK memberikan sebuah keputusan berupa penyelenggaraan pemilihan umum
secara serentak pada tahun 2019 dan pemilu selanjutunya.[1]
Keputusan ini membawa banyak perdebatan publik, dikarenakan banyak publik yang
menjustifikasi keputusan tersebut, dan di satu sisi banyak pula publik yang
kontra dengan putusan MK tersebut. Maka dari itu, dibutuhkan sebuah analisis
kritis yang mampu menganalisa keputusan MK tersebut dari sudut pandang politik.
Sudut pandang politik dirasa sebagai pisau analisa yang tepat oleh karena dalam
perdebatan ini pemilu merupakan sebuah agenda yang syarat dengan nilai-nilai
politis.
Di sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, pemilu menjadi
sebuah agenda yang penting untuk dilaksanakan. Hal ini dikarenakan pemilu
merupakan sebuah prasyarat bagi negara yang berfaham demokrasi, dan demokrasi
sendiri merupakan sebuah sistem yang menjunjung tinggi suara rakyat.[2]
Senada dengan hal tersebut, Robert Dahl menyatakan bahwasanya sebuah negara
yang menganut sistem demokrasi harus memiliki sebuah perwujudan seperti
partisipasi dan kontestasi yang mewujud pada dibukananya kran sistem
multipartai dan pemilu yang bebas dan adil.[3]
Dari agenda pemilu inilah sejatinya nilai-nilai dari demokrasi mampu diterapkan
dan dipetik hasilnya. Karena dalam pemilu warga negara akan terlibat aktif di
arena politik.
Sebagai agenda penting dari sebuah negara demokrasi, maka
pemilu harus dilaksanakan dengan sistem penyelenggaraan yang baik. Sistem
penyelenggaraan yang baik sendiri merupakan suatu penyelenggaraan pemilu yang
mampu memberikan sebuah dampak positif terhadap perubahan Negara Indonesia.
Karena, ketika pemilu memiliki sebuah sistem penyelenggaraan baik, maka pemilu
tersebut akan dekat dengan kekuatan legitimasi masyarakat terhadap
pemerintahnya.[4]
Perdebatan mengenai sistem penyelenggaraan inilah yang kini sedang banyak
diperbicangkan oleh publik. Banyak publik yang menilai bahwa buruknya kinerja
pemerintahan hari ini merupakan akibat dari penyelenggaraan pemilu yang buruk.
Hal ini ditunjukkan oleh makin fenomenalnya tragedi patologi birokrasi, seperti
halnya korupsi.
Perdebatan mengenai sistem pemilu tidak akan ada habisnya
sebelum pemerintah mampu mendogkrak kinerjanya dengan baik. Hal ini dikarenakan
masyarakat sebagai pemilih akan menjadikan kinerja pemerintah sebagai rujukan
dalam rasionalitas pilihannya. Masih banyaknya angka golput yang terjadi pada
era reformasi ini makin meneguhkan bahwa masyarakat belum sepenuhnya optimis
melihat kinerja pemerintahan selanjutnya. seperti diketahui bahwa hinggga saat
ini partisipasi pemilih tertinggi dalam pemilu di Indonesia terjadi pada tahun
1955 dengan partisipasi 91 persen lebih.[5]
Oleh karena itu, haruslah kiranya menjadi sebuah evaluasi bersama antara Komisi
Pemilihan Umum, Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif untuk mampu menghadirkan
Pemilu dengan sistem yang baik.
Pembahasan mengenai pemilu serentak telah menjadi wacana
sebagai salah satu upaya untuk menghadirkan sistem penyelenggaraan pemilu yang
baik di Indonesia. wacana ini pada mulanya banyak digagas oleh kaum negarawan
yang didalamnya diisi oleh para akademisi. Salah satunya adalah Efendi Ghazali,
pakar komunikasi politik.[6]
Gagasan ini muncul atas nama kegelisahan masyarakat yang melihat adanya
inefisiensi dalam penyelenggaraan pemilu. Sebagaimana diketahui di Indonesia
sedikitnya ada dua kali penyelenggaraan pemilu secara nasional (Pilpres dan
Pileg) dan dua kali penyelenggaraan pemilu tingkat daerah (Pilwali dan Pilgub).
Penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut terselenggarakan dengan jumlah dana puluhan
triliun, misalnya saja pemilu 2009 yang menghabiskan dana 47,9 triliun.[7] Namun,
besarnya anggaran dana ini justru dalam hasilnya dirasa tidak mampu memberikan
suatu dampak berupa adanya kepempinan politik yang baik dari politisi yang
terpilih. Pemborosan dana ini tidak hanya terjadi dalam ruang lingkup
penyelenggaranya saja. Akan tetapi, para kandidat juga dirasa banyak melakukan
pemborosan anggaran dana kampanye. Seperti yang diutarakan oleh Ganjar Pranowo,
bahwa harus ada nilai sebesar 1, 2 triliun untuk mampu memenangkan diri dalam
Pilkada. Hal ini tentunya dapat dijadikan bahan evaluasi dari marakanya korupsi
dalam tubuh birokrasi.[8]
Perihal
Pemilu
Sebelum lebih jauh menggali lebih dalam mengenai perdebatan
dari penyelenggaraan pemilu, ada baiknya jika telebih dahulu dibahas mengenai
konsepsi pemilu secara teoritis. Jika dirujuk secara definitif, pemilu menurut
Sigit Pamungkas adalah arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di
Pemerintahan yang didasarkan pada pilihan formal dari warga negara yang
memenuhi syarat[9].
Dalam definisi ini Sigit menuliskan sebuah arena kompetisi, yang dimaksukannya
lebih mengarah kepada ketersediaan ruang publik yang dimana didalamnya akan
terisi suatu kompetisi dari wakil publik untuk dipilih sebagai pewakilan dari
publik yang memilih. Sedangkan menurut Hikam, untuk mengerti perihal pemilu
maka kita harus melihatnya dari dua dimensi. Pertama, pemilu adalah
sarana artikulasi kepentingan warganegara untuk menentukan wakil-wakil mereka.
Dalam pengertian ini, maka pemilu merupakan juga sarana evaluasi dan sekaligus
kontrol baik langsung maupun tidak langsung, terhadap pemerintah dan kebijakan
yang dibuatnya. Adapun yang kedua ialah sebagai suatu sarana untuk
memberikan dan memperkuat legitimasi politik pemerintah, sehingga keberadaan
kebijakasanaan dan program-program yang dibuatnya dapat diwujudkan dengan lebih
mudah dan mempunyai ikatan sanksi yang kuat.[10]
Dari sisi penulis dengan merujuk dari kedua argumentasi diatas, berpandangan
bahwa pemilu merupakan sebuah agenda yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk
memilih wakil-wakil rakyat sesuai dengan konstitusi, untuk menjamin sistem
pemerintahan yang demokratis.
Pemilu
merupakan sebuah tolak ukur dari penyelenggaraan demokrasi di negara demokrasi,[11] maka
dari itu pemilu memiliki suatu indikator keberhasilan dari penyelenggaraanya.
Pemilu dikatakan demokratis, menurut Butler terdapat tujuh indikator utama.
Yakni adanya hak suara dari semua orang dewasa, dilakukan dalam waktu yang
teratur dengan batasan yang jelas, semua kursi di legisletif merupakan subjek
yang dipilih dan di kompetisikan, tidak ada kelompok yang ditolak
kesempatannya, penyelenggara pemilu harus bersikap adil, pilihan dilakukan
dengan sistem yang baik, dan yang terakhir adalah keamanan dari hasil pemilu.[12] Selanjutnya, Mackanzie menyebutkan sedikitnya
ada lima indikator sebuah pemilu dikatakan sukses, yaitu: adanya pengadilan
yang independen, adanya lembaga penyelenggara yang baik dalam menyelenggarakan
pemilu, adanya pembangunan sistem kepartaian yang teroganisir, penerimaan
komunitas politik terhadap aturan main tertentu dari struktur dan pembatasan
dalam pencapaian kekuasaan. Dalam hal ini agaknya penulis memiliki pandangan
bahwa perlu satu indikator lagi yang menentukan keberhasilan pemilu, yaitu
terpilihnya wakil-wakil rakyat yang mampu memuaskan rakyat dengan formulasi
kebijakannya.
Perspektif
Politik
Dalam memandang fenomena ini penulis lebih mengedepankan
politik sebagai pisau analisa untuk mengkaji permasalahan. Dikarenakan permasalahan
ini merupakan permasalahan yang lebih menarik jika diamati dari sudut pandang
politik dibandingkan dari sudut pandang hukum. Hal ini juga disebabkan oleh
apabila nantinya lebih dikedepankan aspek hukumnya maka akan terjadi analisa
yang bersifat kaku. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi sudah pasti sah dan tidak dapat diganggu gugat, oleh karena segala
keputusan MK selalu didasarkan kepada UUD 1945. Sehingga, ketika MK telah
memutuskan sebuah keputusan meski keputusan itu pada dasarnya bersifat tidak
wajar secara hukum maka keputusannya akan tetap sah.
Jika
politik digunakan sebagai pisau analisa, secara otomatis maka penulis akan
mengedepankan metodologi dalam Ilmu Politik. Adapun metodologi dalam ilmu
politik yaitu: pendekatan legal institusional,
perilaku, neo-Marxis, ketergantungan, pilihan rasional dan institusionalisme
baru.[13]
Dari beberapa pendekatan ini penulis akan mencoba bagaimana menelaah dan
menganalisis secara pandangan politik dari permasalahan yang ada. adapun pendekatan
ini merupakan sebauh pendekatan yang menjadi garis besar penulis untuk
menentukan langkah dalam setiap mengambil sudut kesimpulan.
Pemilu
Serentak
Pada awal mulanya Pemilu serentak digagas oleh Aliansi
Masyarakat Sipil yang didalamnya terdapat tokoh yang paling penting terkait isu
ini, yaitu Effendi Gazali. Pemilu serentak sendiri menurut Hamdan Zulfa adalah
pemilu dengan satu tarikan nafas.[14]
Bahwa penyelenggaraan pemilu yang selama ini memisahkan waktu pelaksanaan
antara pemilukada, pemilu legislatif dan pemilu presiden harus diselenggarakan
secara bersama-sama. Jadi, dalam satu agenda pemilu setidaknya satu TPS
memiliki lima kotak suara yang nantinya diisi oleh surat suara pemilihan
anggita DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten, Presiden dan Wakil
Presiden, sementara masih diupayakan lebih lanjut mengenai pemilihan umum
kepala daerah untuk masuk dalam pemilu satu waktu ini.
Permohonan ini dilakukan Aliansi Masyarakat Sipil sebagai
wujud atas keresahan penyelenggaraan pemilu yang selama ini dinilai tidak mampu
menghadirkan perubahan yang signifikan terhadap negara Indonesia. Selain itu,
pemilu di Indonesia justru malah menghadirkan keterwakilan politik yang dekat
dengan korupsi. Hasilnya pemilu tidak lagi dipercaya masyarakat sebagai
penanaman bibit demokrasi yang dinantikan buah hasilnya, tapi pemilu kini telah
menajadi sebuah presepsi bersama bahwa ajang ini tidak lebih dari seremonial belaka.
Hal ini dipertegas juga oleh Donny Gahral Adian dimana beliau menyatakan bahwa
politik demokrasi pun bukan lagi pembangunan proyek-proyek kolektif
(kesejahteraan umum), melainkan festifal individualisme dan proseduralisme
belaka.[15]
Pernyataan dari dosen Filsafat Universitas Indonesia tersebut pantas untuk
direfleksikan bersama. Bahwa selama ini demokratisasi yang bersifat
proseduralisme tak mampu memberikan sebauh implikasi berupa kesejahteraan bagi
masyarakat. Oleh karena, itu gagasan mengenai pemilu serentakpun mulai dibahas
seiring akan hal ini.
Akan
tetapi, gagasan pemilu serentak tidak lantas mendapatkan jalan mulus begitu
saja dari Pemerintah dan publik. Hal ini terjadi lantaran banyak perdebatan
yang masih mengiringi perjalanannya. Setelah disahkan oleh MK pada 23 Januari
lalu, pemilu serentak kiranya bukan diselenggarakan pada tahun 2014, melainkan
tahun 2019. Hal ini dilakukan dengan dalih bila pemilu serentak dilakukan pada
2014, maka pemerintah dan KPU hanya memiliki waktu satu setengah tahun untuk
melaksanakan sosialisasi pemilu ini. Hal tersebut tentunya akan menimbulkan
kekacauan politik yang terjadi di tataran masyarakat berupa kebingungan dalam
menentukan pilihan dan kebingungan dalam mencoblos. Bayangkan, jika harus ada
banyak elemen dalam satu waktu yang berkampanye dan dalam waktu itu pula
masyarakat sudah harus menentukan pilihannya. Dan pemilu juga memberikan dampak
terhadap kekacauan politik di tubuh elit politik (partai politik). Karena
apabila pemilu dilakukan serentak maka akan membingungkan peta koalisi
pencapresan dan kebingungan KPU dalam menentukan siapakah yang berhak mengusung
presiden melalui presidential treshold.
Perlu diketahui bahwa yang menjadi rujukan prosentase keberhakan parpol lolos PT
adalah melalui prosentase hasil dalam pemilu legislatif.
Pertegasan mengenai akan adanya kekacauan di Pemilu serentak
2014 ini dikuatkan oleh argumentasi MK. melalui Harjono, MK menyatakan bahwasanya
menjadi sebuah keputusan yang sulit apabila pemilu serentak harus dilakukan
pada 2014. Karena dalam keputusan ini MK tidak hanya berpikir secara hukum,
akan tetapi juga berpikir dalam aspek politik demi menjamin pelaksanaan pemilu
agar tidak terjadi kekcauan. Misalnya dalam recana pengunduran pemilu selama
tiga bulan agar pemerintah dan DPR mampu merancang UU, akan tetapi tiga bulan
ini akan menjadi sangat membingungkan mengenai waktu pelaksanaanya dan
sebagaimana diketahui masa jabatan presiden sudah habis pada september 2014.[16]
Meski putusan MK dinilai bijaksana demi meminimalisir
kekacauan. Namun, desakan pemilu
serentak untuk dilaksanakan pada 2014 semakin gencar. Dalam hal ini pandangan
hukum lebih dikedepankan, karena dalam logika hukum apabila sebuah putusan
hakim konstitusi telah diputuskan maka sudah sewajarnya keputusan tersebut harus
dilaksanakan mulai dari hari persidangan putusan. Selain itu, putusan MK yang
menjustifikasi pemilu serentak ini secara otomatis mendelegitimasikan pemilu
2014. Karena MK sependapat dengan masukan pemohon mengenai UU pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden yang inkonstitusional dengan UUD 1945. Dari hal ini
dapat disimpulkan bahwa hasil dari pemilu 2014 cidera secara hukum, lantaran
pemilu tersebut tidak sesuai dengan konstitusi. Sementara itu perbedaan
argumentasi mengenai pemilu serentak ini tidak berhenti disitu saja. Setidaknya
beberapa pandangan politik menyatakan bahwa keputusan ini menjadi sebuah
keputusan yang tidak masuk akal, dan disatu sisi keputusan ini sangat penting
demi keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Kontra
Terhadap Keputusan
Jika kita analisis secara seksama, maka kita akan
mendapatkan suatu pandangan bahwa putusan ini banyak menimbulkan sis negatif. Pertama adalah mengenai ketidakjelasan
pemilukada yang akan dilaksanakan. Perbedaan waktu pelaksanaan pemilukada dari
satu kabupaten dan provinsi satu dengan yang lainnya menyebabkan pemilukada
sulit untuk diikutkan dalam kontestasi pemilu serentak. Sebagaimana argumentasi
Effendi Gazali yang memaparkan bahwa nantinya akan ada dua kali pelaksanaan
pemilukada serentak, yakni pada tahun pemilu (ex: 2014 dan 2019) dan satunya
lagi berada diantara pertengahan kurun waktu penyelenggaraan pemilu, misalnya
2016).[17]
Adanya dua kali pemilukada ini memaksa para pemimpin didaerah harus
memperpendek masa jabatannya atau justru diperpanjang masa jabatannya. Apabila
terdapat kepala daerah yang sisa jabatannya kurang dari 1,25 tahun akan merapat
ke pemilu serentak 2014, sedangkan yang lebih dari 1,25 tahun akan merapat ke
pemilukada serentak 2016.
Kedua, adanya keputusan ini membuat
pemilu 2014 rawan untuk tidak dipercaya dan dipersidangkan. Seperti yang telah
diutarakan oleh MK pada paragraf diatas yang mana keputusan pemilu serentak
2019 diambil atas dasar argumentasi inkonstitusionalisme, maka hasil pemilu
tahun 2014 juga akan mudah dipersidangkan dikarenakan tidak memiliki kekuatan
hukum yang kuat. Keputusan MK yang tidak wajar telah memberikan dampak berupa
ketidak percayaan masyarakat terhadap 2014 semakin tinggi, selain itu juga
keputusan ini membuat hasil pemilu 2014 bisa dipersidangkan. Bagaimana tidak,
siapapun yang terpilih nantinya merupakan orang-orang yang dipilih dari pemilihan
umum yang tidak sesuai dengan konstitusi.
Ketiga, yang menjadikan kontradiksi dari
pemilu serentak ini ialah mengenai penjunjungan tinggi esensi dari pesta demokrasi.
Hal ini terjadi lantaran opini yang menguatkan permohonan pemilu serentak
adalah mengenai banyaknya biaya pemilu. Biaya pemilu yang tinggi seharusnya
sudah menjadi sebuah hal yang wajar, dikarenakan pada ajang ini sejatinya
merupakan sarana pesta demokrasi yang mampu memberikan kepuasan terhadap
masyarakat untuk berpolitik aktif, dan dapat melegitimasi pemerintah dari
masyarakatnya. Semakin tinggi tingkat partisipasi pemilih maka semakin tinggi
pula tingkat legitimasi yang diberikan oleh masyarakat terhadap wakilnya. Pada
pemilu 2014 setidaknya pemerintah telah menggelontorkan dana 17 triliun.[18]
Hal ini tentunya telah dilakukan penghematan sebesar seratus persen lebih
daripada pemilu 2009 yang terselenggara dengan jumlah anggaran 47,9 triliun.
Pembiayaan pemilu triliunan rupiah ini harus dicermati sebagai suatu bentuk
pelayanan pemerintah terhadap optimalisasi ruang publik, yang mana diharapkan
sebuah keputusan yang diambil dari publik dalam sebuah arena politik agar
nantinya mampu dibuat kebijakan yang berpihak dengan publik. Selain itu juga,
seperti nama sematannya yaitu pemilu sebagai pesta demokrasi jika kita rujuk
maka akan dapat sebuah substansi mengenai demokrasi yaitu menurut Abraham
Lincoln sebuah pemerintahan negara yang dibentuk dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat.[19]
Jika pemilu memang benar-benar diselenggarakan untuk rakyat maka sudah
sewajarnya dilaksanakan dengan mahal.
Keempat, adalah mengenai ketidak jelasan
dari koalisi partai politik dan penentuan Presidential
dan parlimantary Treshold. Hal
ini dikarenakan selama ini PT dirujuk berdasarkan dari pemilu legislatif. Bila
ambang batas 25 % pemilu presiden diperoleh dari hasil pemilu legislatif
sebelum itu, maka ambang batas parlemen 3,5% diperoleh dari hasil pemilu
legislatif pada lima tahun sebelumnya. Jika pemilu 2019 memang benar-benar
dilaksanakan, maka tidak ada kejelasan mengenai apakah pemilu 2014 ini akan
menjadi rujukan dari segala ambang batas di 2019. Karena pada 2019 pemilu
presiden sudah dipastikan tidak bisa dirujuk berdasarkan pemilu legislatif pada
tahun tersebut.
Pro Terhadap Keputusan
Disatu sisi
banyak pihak yang justru pro atau mendukung dengan adanya keputusan MK ini. Pertama mengenai efisiensi anggaran yang
dapat dilakukan jika pemilu serentak dilaksanakan. Menurut Republika
penyelenggaraan pemilu bisa menyusutkan anggaran penyelenggaraan pemilu.
Menurutnya, selama ini setidaknya 65 persen dari prosentase anggaran telah
dianggarkan hanya untuk membayar pelaksana pemilu. Bayangkan, di Indonesia
terdapat sebanyak 500 ribu TPS dalam setiap penyelenggaraan pemilu, dan
sebanyak 3,5 juta panitia dikerahkan untuk melaksanakan pelaksanaan pemilu,
dengan honor kurang lebih 300 ribu per orang telah mengakibatkan dana pemilu
membengkak. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa pelaksanaan pemilu pada 2004
telah memakan biaya 55, 6 trilun, 2009 47,9 triliun,[20]
dan 2014 masih 17 triliun. Nantinya melalui pemilu serentak setidaknya akan
terjadi penghematan sekitar 150 triliun (jika dikalkulasikan pula dengan
penyelenggaraan pilkada).[21]
Kedua, Selain dapat menghemat biaya
politik, pemilu serentak 2019 juga dapat memberikan jeda waktu terhadap partai
politik untuk bersiap diri dalam pemilu serentak. Hal ini dipertegas oleh
Sidarto politisi PDIP dan politisi lain dalam Majalah Majelis. Keputusan MK
yang lebih condong untuk mengedepankan sisi politik ketimbang hukum ini dinilai
mampu memberikan garansi terhadap legitimasi partai politik terhadap MK. Pada
hakikatnya apapun yang diputuskan oleh MK merupakan sebuah keputusan final,
dimana MK merupakan Lembaga Negara yang berhak mengartikan dan menafsirkan
konstitusi. Seperti yang diketahui bahwa MK memandang bahwa pasal 6A UUD 1945
memiliki tafsiran berua sebuah pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden
secara serentak. Keputusan ini menjadi sah meskipun telah disinggung sebelumnya
menjadi sebuah keputusan yang inkonstitusional. Akan tetapi, karena hal ini
yang memutuskan adalah MK maka semua menjadi perihal yang konstitusional di
mata hukum.
Ketiga,
atau yang terakhir adalah pemilu
serentak dinilai mampu mengurangi korupsi. Sebagaimana yang banyak pemaparan
data yang menyebutkan bahwa negara kita telah terjangkit penyakit korupsi yang
akut. Merebaknya tindakan korupsi di Indonesia diperkuat oleh banyak data yang
menegaskan bahwa korupsi menjadi masalah utama di Indonesia. Salah satu
pertegasan data dari ingar bingar korupsi di Indonesia datang dari Kompas, yang
menyebutkan bahwa setidaknya sepanjang tahun 2013 telah diangkat sebanyak 2.922
diksi mengenai korupsi di Harian Kompas. Banyaknya diksi korupsi ditahun 2013
agaknya bukan menjadi hal baru, ketika sumber data yang sama juga menyebutkan
bahwa sepanjang tahun dalam era-reformasi diksi menegenai korupsi berada pada
kisaran angka diatas dua ribu.[22]
Hal ini tentu sangat mencengangkan bagi kita semua, kasus korupsi kini menjadi
hal yang telah menjadikan masyarakat muak. Bayangkan, Setiap hari masyarakat
akan disuguhi oleh berita korupsi dan korupsi. Data juga menyebutkan bahwa
sepanjang 2004-2012 telah tersangkut kasus korupsi setidaknya 290 orang kepala
daerah.[23]
Sedangkan dalam ranah legislatif menurut Kejagung setidaknya 323 Anggota DPRD
periode 1999-2004 menjadi tersangka Korupsi.[24]
Beberapa pemaparan data inilah yang semakin menenggelamkan posisi Indonesia
dalam peringkat negara dengan tingkat korupsi terparah di Dunia. Hal ini
ditegaskan oleh lembaga anti korupsi internasional yaitu Transparency
International (TI), dalam pemaparannya TI menyebutkan Indonesia dalam posisi 63
sebagai negara terkorup di dunia.[25]
Setidaknya sampai 2012 sudah 4,8 Trilun kerugian negara sebagai buah hasil
tindakan korupsi oleh penguasa.[26]
Hal ini tentunya sudah sepatutnya untuk menjadi refleksi
bahwasa tingginya biaya politik yang dikeluarkan oleh Partai Politik mampu
mengakibatkan logika berfikir buruk untuk mencari untung di dalam kekuasaan.
Jika kita amati secara seksama maka pemilu serentak nantinya akan hadir dengan
formulasi biaya politik murah dari parpol, karena partai politik praktis hanya
mengagendakan dana kampanye dalam satu waktu saja. Sehingga, Partai Politik tidak
lagi mencari untung di panggung kekuasaanya setelah mengalami kerugian pada
masa kampanye.
Daftar
Pustaka
Buku
Mohtar Haboddin dan Fathur Rahman, Gurita Korupsi Pemerintah Daerah, Yogyakarta: Kaukaba, 2013
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar
Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia,
2008
Kacung Marijan, Sistem
Politik Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010
Sigit Pamungkas, Perihal
Pemilu, Jogjakarta: JIP, 2009
Syamsudin Haris, Menggugat
Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: YOI, 1998
`Donny Gahral Adian, Demokrasi
Substansial. Jakarta: Koekoesan, 2010
Diane R & Abigail Thernstrom. Demokrasi Klasik & Modern. Jakarta: Buku Obor, 2005
Media
Online
Dikutip dari: http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/01/140123_mk_uu_pilpres.shtml. Pada tanggal 06/04/2014
Dikutip dari: http://www.voaindonesia.com/content/mk-pemilu-serentak-mulai-2019/1836473.html.
Pada tanggal 06/04/2014
Media Cetak
Kompas, 2 November 2007
Kompas,31 Oktober 2012
Majalah Majelis, Pemilu Serentak 2019. MPR RI,Edisi Februari
2014
kompas, 2 november 2007
Kompas, 25 Oktober 2013.
[1] Dikutip dari: http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/01/140123_mk_uu_pilpres.shtml. Pada tanggal 06/04/2014
[2] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2008. Hal. 461
[3] Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia. Jakarta:
Kencana, 2010. Hal. 118
[4] Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, Jogjakarta: JIP, 2009.
Hal 13
[5] Ibid.Hal. 63
[6] Dikutip dari: http://www.voaindonesia.com/content/mk-pemilu-serentak-mulai-2019/1836473.html. Pada tanggal 06/04/2014
[7] Kompas, 2 November 2007
[8] Kompas,31 Oktober 2012
[9] Op. Cit., Sigit Pamungkas. Hal. 1
[10] Syamsudin Haris, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru,
Jakarta: YOI, 1998, Hal. 51
[11] Op. Cit.,Miriam Budiarjo. Hal.
461
[14] Majalah Majelis, Pemilu Serentak
2019. MPR RI,Edisi Februari 2014. Hal. 3
[15] Donny Gahral Adian, Demokrasi Substansial. Jakarta:
Koekoesan, 2010. Hal. Pengantar
[16] Dikutip dari: http://www.tribunnews.com/nasional/2014/01/25/mk-putusan-pemilu-serentak-2019-untuk-hindari-kekacauan
. pada tanggal 06/04.2014
[17] Op, Cit.,Kompas 31 Oktober
[18] Dikutip dari: http://lampost.co/berita/pencairan-dana-pemilu-lebih-cepat-. Pada tanggal 06/04/2014
[19] Diane R & Abigail
Thernstrom. Demokrasi Klasik & Modern.
Jakarta: Buku Obor, 2005 Hal. 205
[20] kompas, 2 november 2007
[22] Kompas, 25 Oktober 2013.
[23] Ibid.,
[24] Mohtar Haboddin dan
Fathur Rahman, Gurita Korupsi Pemerintah
Daerah, Yogyakarta: Kaukaba, 2013, hal. 22
[25] Dikutip dari www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/01/03/mysock-ti-keluarkan-daftar-peringkat-negara-bebas-korupsi. Pada tanggal 15/03/2014
[26] Kompas, 25 Oktober, Op. cit.,
Apik-apik bat
ReplyDelete