Pancasila dan Kobaran Api Kebangkitan
Pancasila dan Kobaran Api
Kebangkitan
Jika
sedang berada pada Hari Kebangkitan Nasional, saya selalu teringat akan satu
hal yang selalu membekas dalam ingatan saya. Yaitu analogi hari kebangkitan
yang disampaikan oleh Daoed Joesoef dalam suatu artikel berjudul Hari
Kebangkitan Nasional yang diterbitkan oleh Harian Kompas. Daoed Joesoef
menuliskan bahwa “Jika katak tercemplung ke dalam baskom berisi air mendidih,
langsung melompat ke luar, maka ia selamat. Jika tercemplung ke dalam baskom
berisi air dingin dan air berangsur-angsur dipanaskan, ia akan tetap berenang
ria di baskom, merasa kebutuhan alaminya diperhatikan, sampai akhirnya mati
sebagai rebusan konyol, sebab ketika sadar bahwa air semakin mendidih, ia tidak
kuasa lagi melompat ke luar dari baskom karena kekuatannya sudah habis dikuras gerakan
renang ria”.
Menurut
Daoed Joesoef nasib kita akan sama dengan keadaan katak dalam kasus kedua itu,
terbuai oleh kekeliruan dari kebijakan penguasa negeri di hampir semua bidang
kehidupan. Dampak kekeliruan itu mudah dipahami dalam konteks suhu yang
berangsur-angsur memanas.Ia tak begitu tragis dari hari ke hari, tetapi beda
antara prareformasi dan pascareformasi, bahkan antara sekarang dan masa depan,
sungguh tragis. Agar kita tidak menjadi katak tersebut maka sudah sepatutnya
bahwa nilai-nilai kebangkitan nasional kiranya harus digerakkan kembali dengan
merefleksikan kondisi bangsa dari masa silam hingga kini. Namun, Problema
bangsa yang hari demi hari semakin menderu nampaknya membuat bangsa ini tidak
kunjung mampu memercikkan api semangat kebangkitan yang abadi. Hal ini terjadi
lantaran semangat kebangkitan selalu kehilangan arah dalam geraknya. Pancasila
sebagai ideologi bangsa nampaknya kini sudah tidak lagi menjadi nilai yang
menjadi suatu dasar falsafah sehingga ini membuat bangsa kita mudah terapung
dalam baskom.
“Pancasila,
masihkah kita mengenal namanya?”. Mungkin untuk mengenal namanya kita memang
masih mengenal. akan tetapi, yang
menjadi persoalan ialah ketika pertanyaan “dimanakah Pancasila kini
berada?” ditanyakan. Pasca mistifikasi Pancasila pada masa Orde Baru, nampaknya
Pancasila kini kehilangan posisinya sebagai dasar pijakan Bangsa Indonesia.
Mistifikasi Pancasila pada masa silam telah memberikan dampak berupa trauma
akan Pancasila sebagai instrumen yang mampu digunakan sebagai alat kekuasaan. Namun
jika coba ditelisik trauma akan penghadiran tersebut justru membuat kondisi
bangsa semakin kacau, lantaran globalisasi yang masuk tidak melalui pintu utama
telah membentuk sebuah mindset baru
diluar nilai-nilai Pancasila terhadap arah pandang Negara Indonesia. Sebut saja
cara berpikir pragmatis yang sudah merasuk pada ranah tataran politik hingga
kemasyarakatan. Hal ini dibuktikan dengan data yang dihimpun Kompas (26/10/13)
mengenai idealisme pemuda bangsa masa kini yang mulai luntur. Dari hasil
survey, pemuda bangsa yang masih memiliki idealisme kini hanya berkisar 25%
persen. Hal ini diperkuat dengan data pula yang menyebutkan hanya sebanyak
16,4% pemuda tertarik untuk bergabung kedalam Parpol. Untuk ke DPR hanya 18,7
%. Sedangkan ke Ormas 43%. Setelah ditelisik ternyata yang menjadi titik
dominasi atas jawaban pemuda saat ini adalah pandangan mereka yang beranggapan
menjadi orang kaya merupakan sebuah puncak kehidupan yang sukses. Sehingga
dapat ditarik kesimpulan dalam sisi kepemudaan masa kini yang lebih
mengedepankan nilai-nilai pragmatisme daripada nilai-nilai kebangsaan seperti
yang diamanahkan dalam Pancasila.
Padahal
sudah jelas hakikatnya, bahwa Pancasila itu merupakan suatu bentuk weltaunschaung (pandangan dunia) atau philospy of gronslag (dasar falsafah),
namun kenapa Pancasila seolah menghilang begitu saja dari pada era dewasa ini?.
Sekali lagi yang menjadi permasalahan ialah bagaimana penghadiran nilai-nilai
Pancasila yang tidak lagi dihadirkan sebagai dogma perilaku kehidupan
berbangsa. Pancasila telah tergerus oleh hantaman angin globalisme masa kini. Sejatinya
Pancasila itu adalah warisan jenius Nusantara. Hingga Bertrand Russel
menyatakan bahwa Pancasila merupakan suatu sintesis kreatif antara Declaration of American Independence
dengan Manifesto Komunis.
Ketidakberadaan
Pancasila dalam kehidupan berbangsa hari ini telah memberikan sebuah dampak
berupa problematika yang datang silih berganti menggrogoti. John Gardner
menyatakan bahwa “tidak ada negara yang
dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu , dan
jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna
menopang suatu peradaban yang besar.” Hal inilah yang harus kita refleksikan
bahwasanya sebuah negara yang tidak memiliki suatu kepercayaan (ideologi) maka
dia tidak akan pernah menjadi negara yang besar.
Api Kebangkitan
Kembali mengingat Pancasila dalam
momentum hari kebangkitan merupakan salah satu upaya agar nilai-nilai Pancasila
kembali diingat dan diterapkan. Hari Kebangkitan Nasional lahir lantaran suatu
kesadaran pemuda masa lalu akan ketertindasannya atas Kolonial Belanda. Melalui
perjuangan dan semangat api kebangkitan yang membara, pada masa itu kaum pemuda
bangsa mendirikan Budi Utomo, yang menurut Lukman Hakim berarti “Ikhtiar yang
Indah”. Penjajahan nampak mata pada waktu yang berpuluh-puluh tahun lamanya telah
memercikkan api semangat untuk melawan dengan membentuk sebuah organisasi yang
dapat memberikan orientasi pada masyarakat berupa kesamaan misi mengenai
kemerdekaan. Dengan mengedepankan pada dogma pengetahuan dan keilmuan membuat
organisasi ini memiliki andil besar dalam memunculkan tokoh-tokoh terpelajar
yang dikemudian hari bisa menjadi pejuang kemerdekaan.
Berbeda halnya pada masa lalu adalah
masa sekarang. Dimana pada masa lalu imprealisme dan kolonialisme itu berbentuk
fisik dan nampak mata, sedangkan masa kini imprealisme dan kolonialisme itu
berbentuk non fisik dan kasat mata. Penjajahan yang tidak terlihat ini
nampaknya lebih sulit untuk dilawan ketimbang penjajahan yang pada masa lalu.
Hal ini lantaran penjajahan masa kini lebih menyerang pada aspek kebudayaan,
pendidikan hingga ideologi. Tentunya imprealisme bergaya seperti ini sangat
berbahaya apabila kita sebagai kaum muda bangsa tidak mampu menangkap hal ini
sebagai suatu permasalahan yang besar, atau bisa dikatakan ujung dari segala
permasalahan yang selama ini ada. Bila kita sebagai tidak memiliki suatu
kesadaran lebih akan permasalahan ini maka kita tidak akan pernah menyentuh
yang namanya suatu kebangkitan nasional. Karena perlu diulangi sekali lagi
bahwa kebangkitan itu hadir lantaran adanya suatu kesadaran akan ketertindasan.
Pancasila Sebagai
Kebangkitan
Keberhasilan Bangsa eropa masa kini tidak lebih
dapat ditengarai lantaran bangsa eropa mengalami fase kebangkitan ilmu
pengetahuan atau yang disebut masa reinasans, setelah bertahun-tahun berada
pada ketertundukan dogma gereja. Berhasilnya kebangkitan ilmu pengetahuan
tersebut telah membawa bangsa eropa kini menjadi benua dengan peradaban paling
tinggi dan dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya yang baik. Oleh karena
itu, kebangkitan menjadi suatu kunci atas perlawanan ketika suatu masa telah
memaksa kita terjajah.
Pancasila sebagai kebangkitan adalah
bagaimana suatu kebangkitan masa kini memang sudah seharusnya untuk
berorientasi pada nilai-nilai Pancasila, jadi bukan hanya kebangkitan tanpa
arah. Bung Karno pernah menyatakan bahwa “ Hidup sesuatu bangsa tergantung dari vrijheids-bewus-tzijn,
kesadaran kemerdekaan-kebangkitan bangsa itu; tidak dari teknik; tidak dari
industri; tidak dari pabrik atau kapal terbang atau jalan aspal.” Oleh
karenanya sudah seharusnya Pancasila itu kini dihadirkan kembali sebagai sebuah
nilai, sebagai suatu pandangan hidup, akan perilaku elit politik dan
masyarakat.
Utamanya
kita sebagai Pemuda yang harus terus menjadi api yang berkobar, bukan malah menjadi
abu yang akan diterpa angin. Selama masih ada lautan yang bisa dilayari, dan
selama masih ada tanah yang bisa ditanami, selama itu pula masih ada harapan. Seperti diingatkan Bung Karno, “Kita
bangsa Indonesia, kita pemimpin-pemimpin Indonesia, tidak boleh berhenti, tidak
boleh duduk diam bersenyum simpul diatas damparnya kemasyhuran dan damparnya
jasa-jasa di masa lampau. Kita tidak boleh teren op oud roem, tidak
boleh hidup dari kemasyhuran yang lewat, oleh karena jika kita teren op oud
roem, kita nanti akan menjadi bangsa yang ngglenggem, satu
bangsa yang gila kemuktian, satu bangsa yang berkarat”.
* Malang, 20 Mei 2014
Muhammad Luthfil Hakim
Comments
Post a Comment