Perjalanan Pelayanan Publik di Daerah Pemekaran Provinsi Papua Barat



Perjalanan Pelayanan Publik di Daerah Pemekaran Provinsi Papua Barat”
(Muhammad Luthfil Hakim, Mei 2014)


1.1 Latar Belakang
            Pemekaran daerah merupakan sebuah perwujudan atas kebijakan otonomi daerah di Indonesia yang bertujuan pada pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.Hal ini menjadi sebuah inisiatif dari orde reformasi, karena sepanjang rezim orde baru berkuasa pembangunan cenderung terpusat.Pembangunan terpusat menjadi sebuah masalah besar ketika kebijakan mengenai kesejateraan masyarakat hanya dirasakan oleh sebagian penduduk saja, utamanya Jawa dan Bali.Hasilnya, penduduk yang bermukim di daerah luar Jawa dan Bali sebagaian besar belum mendapatkan dampak positif dari pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya adalah Papua Barat, berada di wilayah timur Indonesia, Papua Barat yang memiliki alam eksotis masih sangat tertinggal dibandingkan wilayah-wilayah disekitar Jawa dan Bali. Padahal jelas pada alinea keempat dalam pembukaan UUD 1945 termaktub sebuah amanat mengenai Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, memahami akan permasalahan tidak meratanya pembangunan di Indonesia, kini pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk terus melakukan pemerataan pembangunan dimana salah satunya di Provinsi Papua Barat.
Secara legislasi pemekaran daerah diwujudkan dari legislasi yang mengatur mengenai kebijakan otonomi daerah yaitu UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah, lalu dipertegas dengan PP 129 Tahun 2000 Tentang Persyaratan, Pembentukan, Kriteria Pemekaran, dan Penggabungan Daerah.Selain sebagai perwujudan dari undang-undang, pemekaran daerah juga menjadi motivasi pemerintah untuk meningkatkan pelayanan publik, pemerintahan yang efektif, dan kepemimpinan politik lokal yang demokratis (Kurniawati, 2011: 1).Pada akhirnya, kebijakan ini memberikan sebuah dampak yang kini bisa dirasakan oleh daerah-daerah yang dulunya belum tersentuh pembangunan.
Sebagai provinsi yang terletak di wilayah kepala burung Pulau Papua, Papua Barat menjadi sorotan utama sebagai wilayah hasil pemekaran.Meski disahkan pada Tahun 1999, namun secara administratif dan politis Papua Barat terbentuk pada tahun 2003. Provinsi ini menjadi kajian utama dalam analisis proses pemekaran daerah dikarenakan perkembangannya yang mampu berjalan dengan baik. Salah satu buktinya adalah kemajuan pelayanan publik dibidang kesehatan, yang mana tersebutkan bahwa jumlah kebutuhan puskesmas di Papua Barat telah dinilai mencukupi dari ambang batas yang telah ditetapkan.Hal itu jugadiperkuat oleh data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Papua Barat yang telah melampaui angka batas nasional (Kurniawati, 2011: 6).Namun, baiknya perolehan ini tidak dibarengi pada kondisi lain, misalnya dalam bidang kesehatan, Papua Barat belum mencapai target dalam pemenuhan kebutuhan Dokter untuk masyarakat. (Kemeterian Kesehatan, 2013: 16).Masalah itu pada akhirnya menimbulkan beberapa masalah baru seperti makin banyaknya angka kematian dan bahkan meningkatnya pengguna narkoba.Padahal perlu diketahui bersama, bahwa sejak pembentukannya Papua Barat telah mendapatkan suntikan Dana Alokasi Khusus dari pemerintah pusat. Inilah yang kini membentuk opini baru, bahwa beberapa pembentukan daerah otonomi baru disisi lain hanya merupakan kepentingan politis para elit.Dari sini kesimpulan awal dapat ditarik, bahwasanya masih banyak sebuah problematika mengenai kehadiran pelayanan publik di Papua Barat, sehingga perlu sebuah kajian yang membahas pemekaran papua dari sudut pandang pelayanan publik.

2.2 Profil Provinsi Papua Barat
            Secara geografis Papua Barat terletak di sebalah barat Provinsi Papua. Dengan luas wilayah kurang lebih 115.363,50 Km2.Dimana secara admisintratif terdapat 8 Kabupaten dan 1 Kota.Selanjutnya, jumlah kampong dan kelurahan sebanyak 1153 Kampung dan 47 Kelurahan. Jika ditelisik berdasarkan Topografinyasebanyak 33,45% berada di wilayah pesisir, 15,17% didaerah aliran sungai, 25% berada di daerah pegunungan, dan 26,38% berada di dataran (RPJMD, 2006: 2). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Papua Barat mendiami wilayah pesisir dan menjadikan perairan sebagai penghidupan. Sebagai sebuah provinsi yang terdiri dari beberapa pulau dan dataran tinggi, menjadikan bentangan Papua Barat memiliki khazanah alam yang luar biasa, sebut saja Raja Ampat yang telah dijadikan rujukan wisata turis mancanegara.
            Dalam historitasnya, Papua Barat merupakan sebuah provinsi yang dahulutergabung dalam provinsi Irian Jaya. Oleh karena kekayaan alamnya yang luar biasa dalam Agresi Militer Belanda II, Irian Jaya menjadi target utama wilayah yang akan dikuasai total oleh Belanda. Namun pada akhirnya melalui perjuangan masyarakat Irian Jaya dan pejuang tanah air pada masa itu, Irian Jaya mampu dibebaskan dan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setelah orde baru mengalami fase krisis dan gejolak ekonomi dan politik pada 1998, Papua Barat pada mulanya diusulkan menjadi provinsi baru bernama Irian Jaya Barat, berdasarkan UU No 45 Tahun 1999 Tnetang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Namun dikarenakan adanya sebuah aksi penolakan besar-besaran pendirian Irian Jaya Barat ditangguhkan.Hingga pada akhirnya pada tahun 2002, atas permintaan masyarakat Irian Jaya Barat yang diwakili oleh Tim 315, pemerkaran diaktifkan kembali melalui Inpres No. 1 Tahun 2003. Pada akhirnya, di tahun 2007 nama Irian Jaya Barat dirubah menjadi Papua Barat berdasarkan PP No. 24 Tahun 2007 (Papuabaratprov.go.id).
            Sebagai sebuah provinsi yang mendapatkan aliran Dana Alokasi Khusus (DAK), Papua Barat mengalami peningkatan laju pertumbuhan penduduk. Pada tahun 2000 jumlah penduduknya 571.107 Jiwa, dan pada tahun 2005 jumlah penduduk menjadi 651.958 Jiwa (RPJMD, 2006: 4). Sementara itu dalam sumber lain menyebutkan penduduk Papua Barat di tahun 2013 telah mencapai 846.711 Jiwa (Kemeterian Kesehatan, 2013: 6). Meningkatnya jumlah penduduk ini nampaknya dibarengi pula oleh angka pengangguran yang berada pada angka 32.583 Jiwa, dan angka rumah tangga miskin sebanyak 128.156 dari 170.049 rumah tangga. (RPJMD, 2006: 5). Oleh karena itu, meningkatnya jumlah penduduk yang dibarengi oleh angka kemiskinan membuat pemerintah pusat terus berinisiasi mendorong pembangunan di Papua Barat melalui DAK.

2.3 Kondisi Pelayanan Publik Sebelum Pemekaran
            Sebelum masuk dalam pembahasan pada sub ini, ada baiknya jika pelayanan publik didefinisikan terlebih dahulu agar terdapat suatu batasan dalam pembahasan mengenai pelayanan public.UU No. 25 Tahun 2005 tentang Pelayanan Publik mendefinsikan mengenai pelayanan publik sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa dan atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan public. Atas dasar definsi tersebut, maka dapat disimpulkan mengenai pelayanan publik di Papua Barat dapat disimak dari berbagai indikator atau capaian dari usaha pemerintah daerah untuk mensejahterakan masyarakat, seperti halnya dibidang ekonomi, kesehatan hingga pendidikan.
            Sebelum dimekarkan Papua Barat sebagaimana telah diketahui merupakan bagian dari Provinsi Irian Jaya.Dimana secara umum dapat ditarik bahwa pemenuhan pelayanan publik oleh pemerintah terhadap masyarakat belum sepenuhnya tercukupi.Hal itu dikarenakanIrian Jaya sebagai provinsi yang membawahi kabupaten dengan wilayah-wilayah yang cukup luas, belum lagi kondisi topografi yang menyulitkan akses pembangunan menuju daerah-daerah cukup sulit.Hal ini menjadi pelik, dikarenakan fokus pembanguanan masa itu masih pada seputar wilayah Jawa dan Bali. Hasilnya angka pengangguran sangat tinggi dan kemiskinan merata hampir seluruh wilayah Irian Jaya
2.4 Kondisi Pelayanan Publik Setelah Pemekaran
            Angin berhembus segar ketika rezim orde baru tumbang. Melalui problematika yang cukup rumit pada akhirnya Papua Barat berhasil dimekarkan oleh pemerintah pusat.Juga selain mendapatkan pelimpahan wewenang dari pusat, Papua Barat juga mendapakan Dana Alokasi Khusus sebagai wujud atas inisiatif pemerintah untuk melakukan percepatan pembangunan didaerah tertinggal.Alhasil, beberapa perkembangan telah terjadi di Papua Barat yang beberapa diantaranya menunjukkan hasil yang positif dan banyak pula yang masih mengalami stagnasi.
            Adapun beberapa hal yang positif adalah mengenai PDRB di Papua Barat yang menyentuh angka 8,5 persen dari ambang batas nasional sebesar 5 persen. Sedangkan rasio rumah sakit dengan jumlah penduduk di Papua Barat telah mengalami sebuah peningkatan jumlah yang cukup signifikan, dan bahkan telah mengalahkan Papua sebagai provinsi induknya. (Kurniawati, 2011: 8). Sedangkan untuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua Barat terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun yaitu pada tahun 2004 bernilai 63,7 dan pada tahun 2005 mencapai 64,8 (RPJMD, 2006: 9), sementara itu pada tahun 2010 IPM di Papua Barat telah mencapai angka 69,3(Kurniawati, 2011: 8).
            Secara nyata dalam struktur pemerintahan daerah, Papua Barat telah mengalamai penigkatan berupa ketersediaan lembaga-lembaga penyedia pelayanan setingkat provinsi.Turut juga mengimbangi yaitu ketersediaan website dan alat komunikasi publik lainnya. Melalui kebijakan fiskal berupa DAK yang didapatkan sejumlah 5,409 Triliun sebagai dana otonomi khusus dan dana infrastruktur sebanyak 2,962 hingga tahun 2011, Papua Barat telah mampu menghadirkan ketrsediaan sarana publik sebagai wujud dari sebuah pelayanan (Purwandanu, 2013:2).
            Akan tetapi, hal tersebut tidak bisa dijadikan sebagai rekomendasi untuk menyebut pemekaran daerah menghasilkan hasil positif di Papua Barat, lantaran baiknya angka-angka diatas dibarengi dengan catatan-catatan negatif di Papua Barat. Dalam PDRB meskipun secara umum mengalami peningkatan, akan tetapi PDRB per kapita di Papua Barat masih berada dibawah ambang garis batas nasional. Papua Barat mendapatkan 7,3 Juta per kapita, sedangkan garis ambang batas nasional 8,8 Juta pada tahun 2009 (Kurniawati, 2011: 8). Hal ini lebih dikarenakan pengangguran yang masih merajalela di Papua Barat, terhitung angka pengangguran yang berada pada angka 32.583 Jiwa, dan angka rumah tangga miskin sebanyak 128.156 dari 170.049 rumah tangga. (RPJMD, 2006: 5). Meskipun notabenya sebagai provinsi baru, Pemerintah Papua Barat masih tidak mampu memberikan dampak berupa pembangunan ekonomi di daerahnya.Hasil dari ini tidak lebih pula dikarenakan Pemerintah Papua Barat belum mampu melakukan efisiensi anggaran yang diturunkan dalam setiap program kebijakannnya.
            Dalam pelayanan publik dibidang kesehatan, Papua Barat masih dalam cengkraman daerah dengan angka kematian yang tinggi.Hal ini disebabkan oleh jumlah ketersediaan dokter yang masih minim, puskesmas meskipun banyak tapi masih belum terjangkau(Kemeterian Kesehatan, 2013: 16).Belum adanya pelayanan yang baik dibidang kesehatan juga dibarengi dengan buruknya pelayanan pendidikan di Papua Barat.Dalam RPJMD terdokumentasiikan bahwa mayoritas tingkat pendidikan penduduk Provinsi Papua Barat masih tergolong rendah. Sebagaimana tercermin dari komposisi prosentase pendidikan tertinggi yang tertamatkan oleh penduduk Papua Barat pada tahun 2005 terbanyak adalah sekolah dasar dengan jumlah 35,88%. Sedangkan masyarakat yang sama sekali tidak berpendidikan dan tidak tamat SD juga banyak jumlahnya (RPJMD, 2006: 8). Namun, Pemerintah Papua Barat mulai menyadari akan hal ini, melalui pembangunan fasilitas pendidikan berupa gedung sekolah dan ketersediaan guru SD dan SMP telah tersediakan dengan baik (Kurniawati, 2011: 8).
            Pada akhirnya stagnanisasi penyediaan pelayanan publik di Papua Barat ini makin dipertegas dari hasil capaian angka 69,0 berada pada jauh dari angka batas yaitu sejumlah 72,0. Ini membuat penduduk Papua Barat masih mengalami kemelaratan dan masih belum mendapatkan kesejahteraan dikarenakan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah belum sepenuhnya maksimal.
2.5 Analisis
            Beberapa perdebatan yang lebih menyorot pada angka diatas nampaknya tidak hanya tersaji begitu saja.Agaknya harus tersedia pula analisis yang mempertajam daripada angka-angka tersebut. Oleh karena itu,reformasi birokrasi kini yang berorientasi pada kesejateraan masyarakat dengan menghadirkan pelayanan publik sudah seharusnya menjadi kajian analisis atas permasalahan di Papua Barat. Konflik di masyarakat yang terjadi di Papua Barat dan Papua nampaknya akan terus terjadi seiring dengan ketidakmampuan pemerintah menghadirkan pelayanan terhadap masyarakatnya, dikarenakan pemberian pelayanan yang memuaskan masyarakat sejatinya akan berimplikasi pada legitimasi yang diberikan masyarakat pada pemerintah.
Permasalahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik dalam pemerintah inilah yang dewasa ini banyak menjadi sorotan.Pemerintah melalui reformasi birokrasi sadar diri bahwa aturan yang selama ini dibuat tidak mampu berdampak pada sebuah pelayanan yang baik.Sesuai dengan agenda utama reformasi birokrasi yang lebih mengedepankan kepada perwujudan tata pemerintahan yang baik yang diaktualisasi dengan pelayanan publik dan didukung oleh penyelenggara negara yang profesional dan bebas KKN serta meningkatkan pelayanan prima. Seirama dengan hal tersebut (Abidarin dan Anggraeni, 2013:XIV) menyatakan bahwasanya keterwujudan reformasi birokrasi yang baik harus didukung dengan pelayanan publik yang cepat, tidak berbelit-belit, mudah, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani.
            Seharusnya, memberikan pelayanan yang baik bukan perkara yang sulit bagi Pemerintah Papua Barat.Karena jika kita berkaca jumlah anggaran yang dikeluarkan pemerintah pusat tidak main-main.Efektifitas program dan kebijakan nampaknya menjadi kendala utama Pemerintah Papua Barat sebagai Daerah Otonom Baru. Alhasil, hal-hal seperti IKM, SOP dan kelengkapan fasilitas menjadi terbengkalai.
Nampaknya, sebagai landasan atau legislasi UU 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik memberikan solusi atas berbagai permasalahan tersebut. Setidaknya ada 12 Azas mengenai pelayanan publik menurut UU 25 Tahun 2009 Tentang pelayanan publik diantaranya adalah :
a.       Kepentingan Umum
b.      Kepastian hukum
c.       Kesamaan hak
d.      Keseimbangan hak dan kewajiban
e.       Keprofesionalan
f.       Partisipatif
g.      Persamaan perlakuan
h.      Tranparansi/keterbukaan
i.        Akuntabilitas
j.        Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan
k.      Ketepatan waktu
l.        Kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan
Beberapa azas tersebut banyak diantaranya merupakan prinsip dari pelaksanaan good governance. Dalam prinsipnya, good governance sendiri memiliki setidaknya sembilan prinsip sesuai dengan yang disuarakan oleh UNDP (dalam Abidarin dan Anggraeni 2013: 17) yaitu: Partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, daya tanggap, berorientasi kepentingan publik, kesetaraan, efektivitas dan efisiensi dan akuntabilitas. Hal ini tentunya semakin menguatkan bahwa agenda reformasi pelayanan publik di Indonesia dekat dengan konsep good governance.
            Jika dapat diambil sebuah titik temu antara amanat undang-undang mengenai pelayanan publik dan otonomi daerah pada dasarnya sudah mampu mencapai titik ideal dalam sebuah usaha untuk mencapai proses kesejateraan masyarakat. Namun, beberapa kendala menjadi penghalang dari Papua Barat untuk terus berkembang.Hal ini disebabkan oleh pembangunan Sumber Daya Manusia yang cenderung melambat. Sejatinya pembangunan SDM akan mampu berjalan dengan baik apabila pemerintah mampu melayani akses pendidikan dengan baik. Yang menjadi permasalahan pula ialah topografi antar wilayah di Papua Barat yang sulit untuk dijangkau karena dipisahkan oleh laut ataupun perbukitan.Inilah yang menyebabkan pemerintah tidak mudah untuk memberikan akses pelayanan seperti halnya didaerah-daerah seperti halnya di Pulau Jawa.
            Perkembangannya, kini Papua Barat sedang berfokus diri untuk berkembang lebih baik, nampaknya melalui terobosan baru dalam sektor pelayanan pariwisata, Papua Barat mulai menjadi Provinsi yang mendapatkan Pendapatan Asli Daerah. Buktinya adalah Sail Raja Ampat yang mulai rutin dilaksanakan menjadi sebuah bentuk icon yang menghasilkan pendapatan segar bagi masyarakat dan Pemerintah Papua Barat. Ini menjadi penting dikarenakan sudah seharusnya DOB mampu memiliki terobosan-terobosan baru perihal program kebijakannya.
            Jadi pembangunan dan pelayanan publik di Papua Barat dinyatakan masih jauh dari harapan.Dikarenakan oleh banyak alasan yang mendasari bagaimana belum hadirnya pelayanan publik yang memuaskan masyarakat dan masih jauhnya pelayanan publik di Papua Barat yang sesuai dengan nilai-nilai dalam undang-undang.Banyaknya data yang memberikan gambaran negatif dari pembangunan di Papua Barat mampu menjadikan sebuah pedoman dasar sebuah kesimpulan yang merujuk pada masih buruknya pelayanan publik oleh pemerintah daerah di Provinsi Papua Barat
2.6 Rekomendasi
            Agar Papua Barat semakin tumbuh berkembang sebagai DOB yang mampu menghadirkan pelayanan publik yang ideal, maka Pemerintah Papua Barat harus memiliki sebuah perhatian khusus pada beberapa aspek berikut ini:
1.      Pengembangan Kapasitas Birokrasi
Pengembangan Kapasitas atau yang biasa disebut dengan capacity building sudah seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Papua Barat. Karena untuk mencapai sebuah pelayanan publik yang prima kini harus dilakukan sebuah proses yang berorientasi pada reformasi birokrasi. Capacity building hadir sebagai konsep yang menawarkan proses reformasi birokrasi yang bertujuan akhir pada beberapa pencapaian, salah satunya adalah pelayanan publik. Untuk mewujudkan program ini pada dasarnya harus ada sebuah aturan yang didalanya termaktub nilai-nilai dari pengembangan kapasitas itu sendiri.
2.      Penyediaan sarana dan prasarana publik khususnya dibidang Kesehatan, Pendidikan, Ekonomi dan Infrastruktur.
Kesehatan, Pendidikan, Ekonomi dan Infrastruktur merupakan sebuah pilar utama dari setiap kebijakan pembangunan daerah maupun nasional. Dikarenakan pilar ini nantinya mampu diprediksi menjadi penopang daro beberapa instrumen yang lain. Sebut saja misalnya pendidikan, ketika sarana dan prasarana pendidikan di Papua Barat tercukupi dengan baik, maka dipastikan SDM Papua Barat nantinya akan berkualitas, sehingga akan mewujudkan pada pengembangan manusia Papua Barat yang terhidar pada jurang pengangguran dan kemiskinan.
3.      Pemanfaatan Sumber Daya Alam.
Seperti yang pernah diulas diatas, perihal topografi Papua Barat akan menjadi sajian menarik untuk dibahas dan disimak, karena eksotisme alam Papua Barat. Selain itu, Papua Barat juga memiliki kekayaan alam hayati dan sumber tambang yang melimpah ruah, seperti timah hingga pada minyak.Namun, ini semua pemanfaatannya harus diatur sedemikian rupa agar nantnya nilai yang dihasilkan mampu dirasakan oleh masyarakat Papua Barat.
2.7 Penutup
            Setelah membahas topik mengenai perjalanan pelayanan publik di daerah pemekaran di Papua Barat ini, harapannya ada sebuah kesimpulan yang menjadi bahan rujukan pembahasan lebih lanjut.Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan ini bahwa pemekeran daerah di Provinsi Papua Barat belum memberikan dampak berupa penyelenggaraan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat, karena itu kesejahteraan belum juga muncul dengan merata di Papua Barat, hal itu parahnya juga dibarengi dengan konflik politik dan budaya yang silih berganti hadir.Jika sudah seperti ini maka, pelayanan publik harusnya mampu digencarkan dengan berbagai upaya demi mencapai titik ideal.

Comments

Popular posts from this blog

LPJ Divisi Pendidikan Penalaran HIMAP

Tugas Etika Pemerintahan B.IPM 3

Pengertian Korupsi