Mencerdaskan Ospek

Mencerdaskan ‘Ospek’*
Cinta tidak pernah meminta, ia sentiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam. Dimana ada cinta disitu ada kehidupan; manakala kebencian membawa kepada kemusnahan –Mahatma Gandhi
Pengenalan Kehidupan Kampus (PKK) atau istilah trendnya kita kenal dengan ‘ospek’ telah menelan banyak korban. Seperti diawal bulan ini misalnya, telah dengar kembali seorang korban meninggal dikarenakan ospek yang digelar disalah satu jurusan di Universitas ternama di Kota M. Salah seorang korban ini bukanlah satu-satunya korban yang meninggal diakibatkan ‘ospek’, di negri ini masa orientasi serupa telah menelan banyak korban, nyaris tiap tahun ada saja salah seorang mahasiswa meninggal diakibatkan oleh ‘ospek’. Kasus seperti ini juga akan mengembalikan ingatan kita pada kurun waktu 1993-2011, yang mana telah meninggal sebanyak 45 praja disebuah instansi pendidikan plat merah.

            Terus tumbangnya mahasiswa baru pada waktu ‘ospek’ perlulah kiranya untuk ditelaah bersama. Penyelenggaraan ospek yang tidak jelas membuat substansi dari pengenalan kehidupan kampus menjadi absurd. Selain itu, kasus seperti ini tidak seharusnya terjadi di sebuah negara yang berpijak pada sistem demokrasi, dimana Hak Asasi Manusia (HAM) dijunjung tinggi keberadaanya. Lebih parahnya lagi kasus pelanggaran HAM seperti ini terjadi dalam sebuah rangkaian acara akademika kampus. Bukankah harusnya sebuah kampus itu menghadirkan pendidikan yang berkualitas? Sebagai lembaga yang memiliki otoritas untuk mencetak sarjana muda yang intelektual dan bermoral.  
Kemanusiaan dan Pendidikan
             Saya memulai diskusi kali ini dengan sebuah kutipan dari Gandhi, setidaknya dari sebuah kutipan tersebut kita mulai tersadarkan bahwa kita hidup dalam hakikat sebagai manusia yang diilhami tuhan memiliki hati. Atas nama cinta manusia mampu menjadikan segala hal menjadi indah, atas nama cinta pula manusia akan berpri-kemanusiaan dalam kehidupan antar sesama manusia. Menjalankan kehidupan yang bermartabat juga dipertegas dalam sila ke-2, yang menyebutkan “kemanusiaan yang adil dan beradab”, adanya istilah kemanusiaan dan beradab merupakan sebuah rujukan bahwa segala prilaku kehidupan berbangsa dan bernegara kita harus berpedoman pada unsur-unsur kemanusiaan. Belum lagi kata ‘beradab’ yang lebih memiliki makna moralitas dan etika.
       Sebagai negara yang masyarakatnya memilik kebudayaan tinggi, Indonesia merupakan salah satu negara yang diapresiasi oleh dunia internasional akan kehidupan masyarakatnya yang bermoral dan beretika. Bentukan budaya dan agama menjadikan setiap manusia di Indonesia diajarkan bagaimana berbuat baik antar sesama dan bagaimana mampu hidup rukun meskipun terdapat perbedaan. Dalam istilah jawa unggah-ungguh atau tata krama merupakan salah satu aspek penilaian dari segi kebagusan manusia, semakin manusia itu bertata krama maka orang akan memandangnya sebagai orang baik.
            Doktrinasi seperti ini sejatinya harus mampu dihadirkan oleh lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal. Terutama Perguruan Tinggi (kampus) sebagai lembaga pendidikan tinggi yang menjadi fokus kajian kali ini. Sebagai lembaga pendidikan tinggi harusnya sebuah kampus menghadirkan aktivitas akademika yang ideal, yang lebih substansif, daripada jenjang pendidikan dibawahnya. Ketika kondisi suatu bangsa mengalami sebuah gejolak secara politik seperti negara kita ini, kampuslah yang harus menjadi sebuah wadah yang solutif dengan mencetak sarajana yang mampu merubah kondisi bangsa. Namun belakangan ini aktivitas kampus yang semakin memburuk membuat masyarakat Indonesia gigit jari. Dosen-dosen yang menjadi guru sudah tak lagi mampu dijadikan panutan, alhasil, mahasiswanyapun melakukan hal serupa.
            Bergesernya tri dharma Perguruan Tinggi kearah yang lebih buruk menjadikan peran fungsi mahasiswa juga bergeser. Hal ini terlihat dari bagaimana perguruan tinggi sudah tidak lagi mampu menjamin atas pendidikan, penelitian dan pengabdian. Pendidikan yang berorientasi pada manifestasi kapitalistik atau profit oriented, membuat pendidikan sendiri telah keluar dari jalur moralitas, begitu pula dengan penilitian dan pengabdian. Tabunya perilaku lembaga pendidikan Perguruan Tinggi telah menyebabkan pergeseran perilaku mahasiswa sebagai anak didiknya, problematika ospek ini salah satunya.
Ospek
            Sebenarnya ‘ospek’ merupakan sebuah masa orientasi mahasiswa baru yang diselenggarakan oleh pihak kampus. Biasanya, pihak kampus mempercayakan penyelenggaraan ospek diselenggarakan oleh Lembaga Kedaulatan Mahasiswa yang didalamnya diisi oleh mahasiswa lama. Masa orientasi ini awalnya berniatan untuk mengenalkan dan mendidik mahasiswa baru agar mengenal etika kehidupan kampus. Penggunaan baju rapi berkerah misalnya, sebagai ketetapan yang telah ditetapkan, berpakaian rapi merupakan sebuah hal wajib yang harus ditaati oleh mahasiswa ketika masuk kuliah. Pengenalan mengenai profil fakultas, struktur jabatan dan wewenang para civitas akademika juga merupakan salah satu unsur yang sebenarnya dihadirkan dalam ‘ospek’.
Pembodohan
            Namun yang terjadi kebanyakan ‘ospek’ diselenggarakan keluar dari substansinya. Dengan berniat mencampuri sebuah tujuan baru dalam substansinya justru ospek malah menjadi amburadul. Panitia ospek yang sebagian senior itu menginginkan penyelenggaraan ospek juga bertujuan untuk menumbuh kembangkan kesolidan mahasiswa baru. Dengan cara memberikan penderitaan di waktu ospek, panitia berharap derita yang dialami oleh salah satu mahasiswa baru mampu dirasakan oleh mahasiswa lainnya. Pembentukan mentalitas juga disusupkan oleh para senior untuk mendidik para mahasiswa baru memiliki mental yang tangguh, dengan cara memberikan pembelajaran berupa perpeloncoan mahasiswa baru dipermalukan dimuka umum. Terakhir adalah pendidikan moral, senior berharap agar ketika nanti pada waktu kuliah berlangsung para junior harus menghormati mereka. Pendidikan moral ini dimasukkan dirangkaian acara ospek dengan agenda kegiatan bentak-bentakan, hal ini sudah lumrah terjadi, mahasiswa baru dipaksa untuk menunduk ketika berhadapan dengan senior. Inilah yang menjadi pembodohan ospek di negara kita, tujuan mahasiswa senior yang dipaksakan masuk pada agenda ospek membuat substansi dari rangkian pengenalan kehidupan kampus ini bergeser menjadi ajang eksistensi senior terhadap junior.
            Pembodohan yang terjadi diwaktu ospek yang dilakukan oleh senior menambah panjang penderitaan mahasiswa baru. Setelah mereka dengan susah payah mengikuti alur tes penerimaan mahasiswa baru oleh pihak perguruan tinggi, kini mahasiswa baru harus pula mengikuti rangkaian ospek. Pada rangkaian ospek mahasiswa baru tidak hanya dituntut memiliki kekuatan fisik dan mental yang prima, melainkan pula kondisi keuangan yang bagus. Hal ini terbukti dengan tugas-tugas yang diberikan senior yang biasanya membutuhkan uang banyak. Disuruh membuat topi dari karton misalnya, agar terlihat kompak dan menarik perhatian senior. Tentunya masih banyak hal-hal yang membodohkan ketika ospek yang diselenggarakan oleh para senior mahasiswa baru.
Pencerdasan
            Pencerdasan ospek kiranya harus segera dihadirkan, mengingat kini kondisi kegiatan ini semakin tahun tak mengalami sebuah nilai-nilai yang mengandung substansi yang baik. Pencerdasan bisa dilakukan dengan cara mendiskusikan ulang sejatinya apa yang menjadi substansi dari ospek. Kalaupun ada nilai-nilai baru yang dipaksa masuk haruslah kiranya itu berpihak pada nilai-nilai yang berbau akademis dan kemanusiaan. Seperti halnya nilai-nilai kesolidan  yang dipaksa masuk dalam ospek, sejatinya tanpa perlu ada tindakan memberi sebuah penderitaan pada mahasiswa baru, mahasiswa baru sudah pasti akan terbentuk kesolidan dengan sendirinya, jikalau ada sebuah acara yang dikemas dengan menyenangkan. Acara-acara seperti outbond atau icebreaking kiranya mampu menyenangkan dan sangat berdampak pada kekompakan para pesertanya. Lagipula, manusia hakikatnya adalah makhluk sosial atau zoon politicon, jadi tanpa perlu disuruh untuk solid manusia akan berinteraksi dengan manusia lain dan akhirnya dari situlah muncul yang namanya kerukunan.
            Harusnya ospek hadir sebagai kegiatan yang mampu menumbuh kembangkan academic skills dari mahasiswa baru. Sehingga ketika mahasiswa baru telah memasuki masa-masa kuliah mereka telah memiliki skill untuk menghadapi segala tugas yang berhubungan dengan perkuliahan. Sudah sepatutnya pencerdasan ‘ospek’ dilakukan oleh berbagai pihak, mengingat telah banyak kasus meninggalnya mahasiswa baru saat masa orientasi penerimaan mahasiswa baru di kampus. Pencerdasan yang lebih menekankan pada aspek kemanusiaan tampaknya harus menjadi perhatian khusus, dikarenakan kematian yang terjadi pada waktu ospek merupakan salah satu bentuk pelanggaraan Hak Asasi Manusia yang sangat berat.

*Muhammad Luthfil Hakim
Peneliti di Victory Institute

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

LPJ Divisi Pendidikan Penalaran HIMAP