Masa Depan Demokrasi di Indonesia
(Meneropong Efektifitas Demokrasi di Indonesia)
Sehubungan
dengan semakin gemparnya wacana demokratisasi
di Indonesia yang diaktualisasikan dalam bentuk Pemilu, maka kami
melakukaan telaah dalam tulisan ini sebagai perwujudan atas refleksi
penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Efektifitas menjadi salah satu kata
kunci yang akan dijadikan tolak ukur keberhasilan demokrasi di Indonesia. Sebagaimana
telah diketahui bersama demokrasi di Indonesia mulai ditabuh genderangnya
secara serentak pasca orde baru.
Problematika
dalam demokrasi yang bersifat paradoksal membuat demokrasi di Indonesia tak
mampu berjalan pada lajur yang seharusnya dijalani, begitu pula dengan penghadiran
demokrasi yang bersifat prosedural juga turut ditengarai sebagai penyebab dari
hadirnya penyakit penyakit sosial baru dalam masyarakat Indonesia. Salah satu
wujud dari demokratisasi di Indonesia kini telah menghasilkan ketetapan berupa pemilihan
umum secara langsung yang menentukan pemimpin dipusat hingga pemimpin didaerah.
Pemilu merupakan sebuah keniscayaan dalam setiap praktik ketatanegaraan yang
dilandasi semangat demokrasi, karena demokrasi yang memiliki karakteristik keterbukaan
yang memandang bahwa kedaulatan sebuah Negara berada di tangan rakyat, tetapi
Pemilu pun bukanlah salah satu indikator keberhasilan demokrasi di
negara-negara yang menganut demokrasi.[1]
Demokrasi dan Pemilu
Sejalan
dengan arus waktu keberhasilan demokrasi pada masa Yunani membuat negara-negara
masa kini menganut faham demokrasi meskipun melalui tahap kontekstualisasi
dengan kearifan lokal negara masing-masing, namun secara garis besar demokrasi
antar negara tetap memiliki sebuah persamaan yakni adanya kesepakatan mengenai
kepemilikan kuasa oleh rakyat dalam negara, atau seperti yang dikatakan oleh
Abraham Lincoln bahwa sebuah pemerintahan negara harus dibentuk dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat.[2] Secara
harfiah demokrasi berasal dari bahasa yunani Demos berarti rakyat dan Cratein
berarti kekuasaan.
Demokrasi di Indonesia mulai terbuka
krannya seiring dengan tumbangnya rezim Soeharto, demokratisasi diberbagai
sektor mulai digencarkan demi terwujudnya cita-cita negara demokratis seperti
yang diimpikan oleh para aktivis ketika menumbangkan rezim Soeharto. Pembukaan
kran demokratisasi telah mencapai titik puncaknya ketika pada pertama kalinya
Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat Indonesia pada tahun
2004, secara bersamaan pada tahun tersebut juga tercetuskanlah kebijakan
desentralisasi yang berdampak pada otonomi daerah sebagai salah satu perwujudan
demokratisasi di daerah-daerah. Perwujudan seperti adanya partipasi dan
kontestasi yang mewujud pada dibukanya kran sistem multipartai dan pemilu yang
bebas dan adil seperti yang dikemukakan oleh Robert Dahl,[3]
menjadi fokus utama perwujudan demokrasi di Indonesia pasca rezim orde baru.
Kehadiran demokrasi yang bersifat prosedural tak lebih merupakan sebuah dampak
dari fase dimana demokrasi sedang mengalami sebuah transisi, atau lebih dikenal
sebagai transisi demokrasi, dimana demokrasi sedang berada pada jalur
kebangkitan menuju arah demokrasi yang ideal.
Transisi demokrasi di Indonesia yang
menyebabkan pada demokratisasi dari segala sektor telah menghadirkan banyak
dampak terhadap kehidupan masyarakat, secara ideal demokrasi yang harusnya
berpihak kepada masyarakat seperti apa yang telah kita diskusikan diatas
ternyata realitasnya kini cenderung berpihak hanya kepada elit penguasa. Hal
ini dipertegas juga oleh Donny Gahral Adian dimana beliau menyatakan bahwa
Politik Demokrasi pun bukan lagi pembangunan proyek-proyek kolektif
(kesejahteraan umum), melainkan festifal individualisme dan proseduralisme
belaka.[4]
Seperti yang dikatakan oleh Kacung
Marijan bahwasanya kehadiran demokratisasi di Indonesia telah membuka ruang
yang lebih besar kepada warga negara untuk terlibat lebih aktif di arena
politik.[5]
Namun disisi lain berjalanya demokrasi di Indonesia dewasa ini pada realitasnya
sangatlah jauh seperti apa yang diharapkan, keterbatasan ruang publik yang
mampu memberikan diskursus bagi segala kebijakan pemerintah ditengarai menjadi
sebuah fenomena sosial yang kini terjadi. Lembaga pers sebagai salah satu pilar
demokrasi kinipun telah diciderai netralitasnya dalam keberpihakan mereka
sebagai sarana yang ditunggangi kepentingan politik parsial belaka. Alhasil
kini demokrasi hanya terasa dalam kontestasi pemilu atau istilah jawanya sering
kita dengar coblosan, dengan jargon
sebagai pesta demokrasi, pemilu hadir dalam lima tahun sekali menghadirkan
muka-muka calon pemimpin politik yang akan menjadi wakil rakyat dalam panggung
politik.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh
Sigit Pamungkas Pemilu merupakan arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan
politik di pemerintahan yang didasarkan pada pilihan-pilihan formal dari warga
negara yang memenuhi syarat.[6]
Seperti yang telah sedikit kita singgung diatas pemilu sendiri hadir sebagai
salah satu perwujudan untuk mewujudkan demokrasi dalam negara, setiap pemilu
tentunya memiliki sebuah sistem yang mengoperasionalkan jalanya pemilu, sistem
pemilu disebutkan oleh Kacung Marijan merupakan salah satu instrumen
kelembagaan penting didalam demokrasi untuk mewujudkan tiga prasyarat demokrasi
yaitu pertama, kompetisi didalam
memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan, kedua,
partisipasi masyarakat, dan ketiga, adanya
jaminan hak-hak sipil dan politik[7].
Secara historis kehadiran pemilu di
Indonesia untuk pertama kalinya hadir pada zaman orde lama pada tahun 1955,
dalam pemilu pertama ini sedikitnya diikuti oleh 172 partai politik sebagai
buah hasil dari sistem multipartai yang diterapkan, banyaknya partai politik
dan kekuatan partisipasi pada waktu itu menjadikan pemilu tersebut menjadi
pemilu yang paling demokratis sepanjang sejarah politik di Indonesia.[8]
Seiring dengan berjalannya waktu di zaman orde baru pengerucutan partai
politikpun terjadi menjadi tiga partai yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Dalam pemilu
pada masa orde baru praktis terdapat anggapan bahwasanya Pemilu pada era ini
merupakan salah satu perwujudan pelanggengan kekuasaan Orde Baru itu sendiri.[9] Pemilu
dengan banyak partai sebagai dalih perwujudan pemilu yang demokratis hadir
kembali pada 1999, 2004 dan 2009. Sepak terjang pemilu di Indonesia menjadi
sebuah perhatian yang menarik untuk diperhatikan secara seksama, kehadiran
pemilu sebagai perwujudan dari demokratisasi akan menjadi refleksi dari
perwujudan partisipasi publik terhadap negara, kerendahan partisipasi dan
tingginya angka golput akan menjadi salah satu point yang menunjukkan demokrasi
yang telah berjalan itu efektif ataukah justru tenggelam dalam sebuah jurang Aporia belaka.
Sepak terjang pemilu di Indonesia
mengalami kondisi pasang surut ketika kita melihat data secara empiris yang
dipaparkan oleh KPU, kita akan melihat bagaimana kualitas pemilu di 1995 dengan
tingkat partisipasi tinggi, disatu sisi kita akan melihat adanya peningkatan
angka golput pada pemilu pasca orde baru yaitu 1999, 2004, 2009, dimana angka
golput pada ketiga tahun tersebut secara berurutan adalah 10,21%, 23,34% dan
39,22%.[10]
Hal ini sangat mencengangkan bagi situasi demokrasi di Indonesia, belum lagi
tersebutkan bahwasanya sejak 1 Juni 2005 angka golput dari pilkada-pilkada yang
dilaksanakan didaerah sangatlah tinggi jika dibanding pileg dan pilpres.[11] Pada
dasarnya faktor-faktor yang menyebabkan tinggi rendahnya partisipasi politik
warga negara adalah kesadaran politik dan kepercayaan terhadap pemerintah
(sistem politik).[12]
Permasalahan dalam pemilu tidak
hanya berhenti dalam partisipasi saja, buruknya sistem penyelenggaraan pemilu
dalam hal pendataan daftar pemilih juga menjadi problematika tersendiri dalam
realitas pemilu di Indonesia, kepemilikan hak pilih ganda menjadikan pemilu
semakin ruwet tak terkendali aktualisasinya dilapangan, sehingga rawan memicu
konflik kepentingan. Hal ini juga dipaparkan oleh Kompas dalam tajuk mengelola
bara konflik penyelenggaraan pemilu, bahwasanya kasus-kasus penyelenggaraan
pemilu yang “masuk angin” memang akhir-akhir ini terungkap terang benderang.
Rivalitas antar penyelenggara pemilu tak hanya menguras tenaga dan waktu
sia-sia, tetapi juga mengancam masa depan demokrasi.[13]
Permasalahan demi permasalahan dalam
pemilu merupakan tak lebih sebagai keikutsertaan patologi sosial yang hadir
bersama dengan transisi demokrasi, pemaksaan demokrasi dengan mewujudkan
demokratisasi kini berujung pada sebuah demokrasi yang disebut sebagai
prosedurialisme demokrasi. Donny Gahral Adian menyebutkan bahwasanya prosedualisme
demokrasi mengandung dua ancaman. Pertama,
demokrasi dibajak oleh mereka yang sejatinya anti demokrasi. Kedua, demokrasi dibajak oleh
orang-orang berpunya.[14] Demokrasi
prosedural ternyata bukan hanya membawa patologi sosial, melainkan prosedurialisme
demokrasi kini telah memunculkan patologi-patologi baru disepanjang pelaksanaan
demokrasi
Patologi Sosial
Patologi sosial merupakan sebuah
penyakit sosial. Dalam kehidupan sosial tentunya kita akan menjumpai hal-hal
yang menjadi sebuah patologi yaitu seperti halnya kriminalitas. Dalam demokrasi
patologi sosial bermertamorfosis menjadi sebuah perwujudan baru, dalam ranah
agenda politik, patologi sosial menjelmakan demokrasi kini menjadi sebuah
sistem yang bertendensi dengan politik transaksional atau money politics, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Patologi ini
harusnya menjadi patologi sosial yang harusnya berada pada sistem pemerintahan
yang tiranistik, namun di Indonesia justru terjadi dalam tata pemerintahan yang
menganut sistem demokrasi dalam keberlangsunganya.
Korupsi kini menjadi sebuah fenomena
sosial yang telah menjamah berbagai sektor di Indonesia, diterapkannya
kebijakan desentralisasi fiskal dan politik ternyata disertai pula oleh
merebaknya korupsi di daerah-daerah. Kini realitas sosial telah menjadikan
korupsi merupakan sebuah budaya baru, bahkan menurut F Budi Hardiman dalam
opininya yang bertajuk Tangan Tangan
Kotor menyatakan bahwasanya mereka yang melakukan politik uang memang bukan
tindakan hal terpuji, tapi cara itu perlu dilakukan agar mayoritas orang akan
mendapat manfaat dari kemenangan partainya.[15]
Kini koruptor juga memiliki anggapan bahwa mereka itu merupakan seseorang yang
jatuh sial belaka, bukan menjadi orang yang bersalah. Ingar bingar korupsi ini
juga dipertegas oleh data dari Kompas yang menyebutkan bahwa setidaknya sepanjang
tahun 2013 telah diangkat sebanyak 2.922 diksi mengenai korupsi di Harian
Kompas, banyaknya diksi korupsi ditahun 2013 agaknya bukan menjadi hal baru,
ketika sumber data yang sama juga menyebutkan bahwa sepanjang tahun dalam
era-reformasi diksi menegenai korupsi berada pada kisaran angka diatas dua
ribu.[16]
Hal ini tentu sangat mencengangkan bagi kita semua, kasus korupsi kini menjadi
hal yang telah menjadikan masyarakat muak keberadaanya, setiap hari masyarakat
akan disuguhi oleh berita korupsi dan korupsi. Data juga menyebutkan bahwa
sepanjang 2004-2012 telah tersangkut kasus korupsi setidaknya 290 orang kepala
daerah.[17]
Efektifitas dan Partisipasi
Setidaknya
sampai 2012 sudah 4,8 Triliun kerugian negara sebagai buah hasil dari korupsi di
Indonesia.[18]
Hal ini tidak berbanding lurus dengan jumlah pengeluaran negara dan daerah yang
dialokasikan khusus untuk pesta demokrasi. Dewasa ini pesta demokrasi seolah
hanya menjadi belenggu dinamika demokrasi di Indonesia, transisi yang tak
kunjung menemui titik temu menjadikan demokrasi tak menemui titik efektifitas
dalam jati dirinya.
Dari beragam risalah mengenai
demokrasi, partisipasi publik dalam ruang demokrasi agaknya harus menjadi
pemecah kebuntuan, sebagaimana Donny Gahral Menyatakan bahwa sebagai subjek
politik, warga negara diukur berdasarkan partisipasinya pada substansi rapat
yang dikunci rapat dalam konstitusi.[19]
Dari pernyataan tersebut dapatlah diambil sebuah nilai pemaknaan bahwasanya
adanya relasi antara partisipasi warga negara yang terlindungi oleh konstitusi
mampu menghadirkan substansi dari demokrasi. Meminjam pernyataan dari Kacung
Marijan bahwa dibalik keinginan menggebu untuk berdemokrasi dalam satu dekade
belakangan ini, kekecewaan terhadap demokrasi di Indonesia telah muncul.[20]
Masih belum tercapainya indikator
efektifitas demokrasi di Indonesia juga dibuktikan oleh data Litbang Kompas
yang menyebutkan demokratisasi dengan kesejahteraan di negri ini tidak selalu
menggambarkan kausalitas hubungan yang saling menunjang.[21] Problematika
ini semakin menunjukkan negara kita semakin tenggelam dalam transisi demokrasi,
kegagalan konsolidasi demokrasi dalam fase transisi menjadikan sebuah bola
panas bagi demokrasi itu sendiri akan kembali masuk pada sistem yang otoriter.
Menurut Kacung Marijan upaya untuk membangun sistem politik yang demokratis
pada dasarnya tidak hanya berkaitan dengan desain kelembagaan, selain itu juga
perlu adanya perbaikan budaya politik pada tingkat individu, baik pada tataran
elite maupun massa.[22]
Daftar Pustaka
Buku
Diane
R & Abigail Thernstrom. Demokrasi
Klasik & Modern. Jakarta: Buku Obor, 2005
Donny
Gahral Adian, Demokrasi Substansial.
Jakarta: Koekoesan, 2010
Kacung
Marijan, Sistem Politik Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2010.
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:
Gramedia Pustaka, 2008.
Ramlan
Surbakti, Memahami Ilmu Politik.
Jakarta: Grasindo, 1999.
Sigit
Pamungkas, Perihal Pemilu. Yogyakarta:
Laboratorium JIP Fisipol UGM, 2009.
Koran
Kompas,
Jumat, 25 Oktober 2013
Kompas,
10 Oktober 2013.
[1] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:
Gramedia Pustaka, 2008. Hal 83
[2] Diane R & Abigail
Thernstrom. Demokrasi Klasik & Modern.
Jakarta: Buku Obor, 2005 Hal. 205
[3] Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia. Jakarta:
Kencana, 2010. Hal. 118
[4] Donny Gahral Adian, Demokrasi Substansial. Jakarta: Koekoesan,
2010. Hal. Pengantar
[6] Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu. Yogyakarta: Laboratorium
JIP Fisipol UGM, 2009. Hal. 3
[7] Sistem Politik Indonesia, Op.
cit., Hal. 83
[8] Ibid., Hal. 67
[9] Perihal Pemilu, Op. cit.,
Hal. 75
[10] Sistem Politik Indonesia, Op.
cit.,Hal.126
[11] Ibid
[12] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik. Jakarta:
Grasindo, 1999. hal 15
[13] Kompas, 25 Oktober 2013. Hal. 49
[14] Demokrasi Substansial, Op.
cit., Hal. Pengantar
[15] Kompas, 10 Oktober 2013. Hal. 10
[16] Kompas,
25 Oktober 2013. Hal. 36
[17] Ibid., Hal. 37
[18] Ibid
[21] Kompas, 25 oktober 2013. Hal. 36
Comments
Post a Comment