“Rezim ORBA yang Tak Sekedar Membunuh Nyawa”
“Rezim ORBA yang Tak Sekedar Membunuh Nyawa”*
(Analisa
Kekuasaan Zaman Suharto Melalui Pendekatan Ototarian Birokratik Dalam Studi
Kasus Pembakuan Ejaan Bahasa Indonesia Tahun 1972)
Pendahuluan
Berdiskusi
mengenai orde baru mungkin akan membutuhkan waktu yang cukup lama berjam-jam
bahkan berhari-hari, harus menghabiskan kopi bergelas-gelas atau bahkan rokok
berbatang-batang (bagi yang merokok). Diskusi mengenai orde baru saat ini tidak
hanya dilakukan dikelas-kelas, seminar-seminar dan aktivitas akademika lainya,
melainkan sudah dibincangkan di warung kopi hingga gubuk-gubuk petani. Orde
baru memang hari ini akan sangat menarik diperbincangkan, mungkin semua orang
butuh romantisme sejarah masa lalu yang dirasa lebih enak daripada hidup
dijaman bebas kebablasan ini.
Dari
berbagai masalah di Orde Baru biasanya diskusi-diskusi akan lebih tertuju pada
peristiwa Malari, Marsinah hingga Gerakan Mahasiswa ’98, yang mana dari
kesemuanya itu lebih terkait tentang pembunuhan, penculikan, penembakan oleh
petrus, Penahanan, Hingga pelanggaran HAM. Ada beberapa masalah atau peristiwa
yang pada dasarnya harus kita kaji bersama dan menjadi telaah lebih lanjut,
namun dibutuhkan pula kejelian dan kecermatan dalam memandang beberapa kasus
ini, karena Rezim Suharto pada zamannya telah berhasil menggelapkan mata dan
mencuci otak masyarakat Indonesia untuk jangka panjang.
Pada
tulisan kali ini penulis akan memfokuskan kajian pada permasalahan yang tak
tampak dipermukaan seperti yang sedikit digambarkan diatas, penulis akan
mengungkapkan dan mendiskusikan mengenai kenyataan bahwa Suharto bukan saja
telah membunuh nyawa, melainkan Suharto telah mengamputasi sebuah nilai-nilai
ilmu dan pengetahuan. Dengan telaah awal melalui pandangan teoritis konsepsi
mengenai negara otoritarian birokratik penulis akan langsung mendiskusikan
bagaimana dalam negara otoritarian birokratik Suharto telah menciderai apa yang
namanya sebuah nilai etika dan estetika dalam ilmu pengetahuan.
Peristiwa
yang akan kita telisik lebih lanjut tertuju pada tahun 1972, dimana pada waktu
itu Suharto yang sedang berpidato didepan Dewan Perwakilan Rakjat dan
mengeluarkan kebijakan bagaimana harus adanya penyempurnaan ejaan dari Bahasa
Indonesia yang telah dilegalkan pada saat sumpah pemuda 1928 menjadi bahasa
nasional. Dalam kebijakan itu pada dasarnya memiliki berbagai permasalahan yang
berdampak besar pada Indonesia dikala itu hingga kini, hal inilah yang akan
menjadi titik berat dari diskusi menarik tulisan ini dengan memandang peristiwa
yang ada.
Konsepsi
Negara Otoritarian Birokratik
Secara kaidah bahasa otoritarian merupakan suatu hal yang
mutlak, dalam konteks ini maka yang dinamakan mutlak adalah terkait dengan
konsep kekuasan yang mutlak atau lebih dikenal dengan kekuasaan yang absolut
atau lebih mudah dikenal lagi diktatorian, membicarakan otoritarian tentunya pasti
akan tersentralisasikan pada sebuah kekuasaan perorangan saja, dimana orang itu
yang menjadi pemimpin merupakan sebuah tokoh yang terpusat dan memegang kendali
atas segala kebijakan yang diinginkan oleh orang tersebut. Dan setiap orang
yang telah memiliki kekuasaan tersebut memanfaatkan kaum loyalisnya untuk
dijadikan antek dalam sebuah rezim politik tertentu. Di berbagai negara banyak
tragedi-tragedi otoritarian birokratik yang menjadi sejarah dari berjalanya
lika-liku birokrasi negara tersebut, sebut saja di Italia kita akan menemukan
B. Musholini, di Perancis terdapat Raja Louis, Hitler yang memimpin fasisme di
Jerman, Stalin dan Lenin, dan lain sebagainya. Sedangkan mengenai konsep
otoritarian maka semua mata akan tertuju pada sosok bapak pembangunan yang tak
asing lagi dan menjadi presiden dengan jangka waktu terlama, yaitu Presiden
Soeharto, yang menjadi presiden ke-II pasca kepemimpinan Ir. Soekarno.
Berbicara mengenai konsep kekuasaan dalam ilmu
pengetahuan pasti kita akan tertuju pada yang namanya Nicollo Machiavelli, bagi
Machiavelli kekuasaan adalah raison
d’etre negara. Negara juga merupakan simbolisasi kekuasaan politik yang
sifatnya mencakup semua dan mutlak.[1]
Konsep
otoritarian birokratik sendiri secara dasar falsafah terinspirasi oleh konsepsi
negara yang dicetuskan oleh Hobbes, dimana Hobbes mengibaratkan sebuah negara (Machstaat) sebagai Leviathan, sejenis monster yang ganas, menakutkan dan bengis yang
terdapat diperjanjian lama.[2] Filsuf
asal ini inggris menyatakan bahwasanya dalam negara akan menakuti kepada
siapapun yang melanggar hukum negara, bila ada warga negara yang tak menaati
maka negara Leviathan tak segan-segan memberi hukuman mati. [3]
Jadi apa yang dinyatakan Hobbes adalah merupakan sebuah kenyataan yang ada pada
masyarakat yang memang dirasa selalu berapa pada sebuah kekacauan, sehingga
dibutuhkanlah negara yang kuat seperti Leviathan untuk menakuti-nakuti setiap
warga yang melanggar.
Pembakuan
EYD dan Problematikanya dalam Orba
Pada dasarnya
masih banyak konsepsi-konsepsi teoritis dan empiris terkait tentang bagaimana
konsep tentang negara-negara otoritarian birokratik, kita masih belum
menyinggung bagaimana leninisme atau bahkan fasisme Hitler yang memimpin Nazi,
dikarenakan tulisan ini memang harus ditulis secara singkat saja. Namun dari
kedua pemikir tersebut merupakan dua tokoh utama pemikiran negara kuat atau
otoritarian birokratik.
Menuju masalah yang akan didiskusikan lebih jauh yaitu
masa Orde Baru dimana pada masa ini sejumlah tragedi hadir untuk menguatkan
posisi negara atau pemerintah demi tercapainya sebuah cita-cita yang diinginkan
waktu itu yaitu pembangunan, Soeharto sebagai bapak presiden pada waktu itu
telah menjuluki dirinya menjadi bapak pembangunan karena memang apa-apa yang
dijalankan adalah semata-mata demi sebuah percepatan pembangunan di Indonesia
pasca proklamasi orde lama. Disisi lain pada rezim Soeharto telah banyak
tragedi yang terungkap menumpahkan dara dan banyak pula tragedi yang merenggut
nyawa namun hingga sekarang masih belum terungkap, seperti halnya apa yang
dinyatakan dari Velli dan Hobbes, bahwasanya untuk mengurangi segala
problematika dan demi sebuah kestabilan dari negara maka pemerintah akan
berperan kuat terhadap kebijakan negara agar masyarakat mampu mengaktualisasi
segala kebijakan tanpa banyak menentang.
Pada waktu pidato Presiden Soeharto 16 Agustus 1972
didepan DPR soeharto memberikan pernyataan sebagai berikut; “langkah-langkah
yang penting adalah pembakuan bahasa kita, yang meliputi pembakuan tata bahasa,
pembakuan: peristilahan dan pembakuan ejaan”.[4]
Dari pernyataan itu akhirnya mulailah diberlakukan bagaimana sebuah EYD
memenuhi ruang kaidah Bahasa Indonesia yang menurut sumber ahli pembahasan
mengenai ejaan-ejaan yang akan disempurnakan itu dibahas oleh 70 orang untuk
merubah segala ejaan yang harus dirubah.
Pada waktu itu banyak teoritisi ahli bahasa yang sepakat
agar bahasa Indonesia lebih diperbarui, dikarenakan ada beberapa kata yang
perlu diperbarui secara makna ataupun efisiensi penulisan, sebut saja
penggantian kata oe menjadi u, dj
menjadi j, tj menjadi c, Dan masih banyak yang lain. Secara
garis besar memang pada awal mulanya tidak ada yang janggal dari kebijakan ini,
bahkan banyak dari ahli yang menjustifikasi dari kebijakan Suharto ini.
Namun setelah ditelisik lebih lanjut berdasarkan analisa
Benedict Anderson dalam essainya “Exit
Soeharto” adanya sebuah kepentingan politik, atau lebih dikatakan politik
amnesia.[5]
Pada dasarnya ketika Soeharto menerapakan adanya perubahan bahasa hal itu juga
diikuti oleh bagaimana dirubahnya buku-buku zaman pra-orde baru dengan diganti
ejaan yang lebih baru, nah disinilah letak dari permasalahan awal. Ketika
buku-buku zaman pra-orba ditarik dengan dalih untuk memperbaiki kualitas bahasa
pada dasarnya yang terjadi adalah penyitaan buku-buku zaman pra-orba dan
penghangusan dari masyarakat global, sebut saja buku-buku Tan Malaka, Soekarno,
Muh.Yamin yang hilang diperedaran nasional pasca dari kebijakan tersebut,
tentunya hal ini menjadi sebuah kejanggalan, mengingat bahwasanya bangsa yang
besar adalah bangsa yang tidak pernah meninggalkan sejarah dan ilmu
pengetahuan, dan Soeharto telah menciderai itu. Lantas untuk apakah Suharto
melakukan kebijakan tersebut?
Berbicara mengenai Suharto tak lepas dari intrik-intrik
otoritarian birokratik, kebijakan EYD ini merupakan sebauh beutifull Minding dari Suharto untuk terus memperkokoh rezimnya dan
akhirnya itu berhasil. Kita tahu dalam sebuah buku Tan Malaka kita akan
disajikan sebuah kajian-kajian revolusioner mengenai bagaimana itu negara,
bagaimana itu masyarakat, bagaimana itu peran dari negara, hingga pembahasan
ideologi. Sebut saja Madilog Matrealisme
Dialektika dan Logika yang menjadi masterpiece
dari Tan Malaka sendiri justru akhirnya hilang diperedaran pada zaman Orba,
begitu pula dengan buku-buku revolusioner Sukarno “Dibawah Bendera Revolusi”
yang hingga saat ini sangat langka ditemukan. Hal ini dilakukan oleh Suharto
atas dasar demi pencucian otak dari masyarakat terhadap segala yang ada
terutama kebaikan-kebaikan dalam orde lama sehingga masyarakat tidak akan
pernah mengesandingkan orde lama dan orde baru.
Selain itu dengan kebijakan tersebut Suharto menginginkan
agar masyarakat tidak mempunyai dialektis mengenai wacana ilmu pengetahuan yang
revolusioner, andai saja buku-buku tersebut masih berada diperedaran pada zaman
itu mungkin kekuasaan rezim Suharto tidak akan bertahan hingga lebih dari 30
tahun. Tentunya ini merupakan sebuah hal yang patutu disayangkan ketika sebuah
negara harusnya menghargai bagaimana sebuah dialektika pengetahuan justru
diciderai dengan kepentinngan-kepentingan politik untuk sebuah rezim, alhasil,
apa yang dicita-citakan oleh Sukarno, Tan Malaka dan Hatta yang pada dasarnya
baik justru tidak tercapai hari ini dikarenakan ada pemotongan sejarah pada
Orde baru.
Penutup
dan Kesimpulan
Tentunya
akan menjadi refleksi dari benak kita bersama bahwasanya pada rezim orde baru
yang pada dasarnya juga menginginkan sebuah pembangunan bagi bangsa melalui
konsep otoritarian birokratiknya justru malah menelikung yang namanya
dialektika ilmu pengetahuan, hal ini akan menjadi evaluasi bersama bagaiamana
penghargaan terhadap sebuah karya siapapun yang membuat ketika pada dasarnya
itu sebuah kebaikan maka tidak ada salahnya untuk terus diperdarkan, karena
saya percaya bahwasanya (mengutip dari perkataan Sukarno) Bangsa yang besar
adalah bangsa yang menghargai sejarah dan ilmu pengetahuan.
Daftar
Bacaan
Ahmad
Suhelmi, “Pemikiran Politik Barat”(1sted.).
Jakarta; Gramedia, 2001
Benedict
Anderson, “Exit Suharto” essai
berbentuk PDF diunduh dari web: newleftreview.com
*Muhammad
Luthfil Hakim
Peneliti di Victory Institute
[5] Benedict
Anderson, “Exit Suharto” essai
berbentuk PDF diunduh dari web: newleftreview.com Hal. 52
Comments
Post a Comment