Hari Anti, Korupsi ?*

(Memperingati Hari Anti Korupsi)
Persoalan bangsa terbesar saat ini adalah kejahatan korupsi –Kompas, 27 November 2013
Hari anti korupsi yang jatuh setiap tanggal 9 Desember nampaknya kini hanya menjadi ajang selebrasi belaka, hal ini tercermin dari bagaimana semakin maraknya aksi refleksi hingga aksi yang berujung anarkis yang terjadi dihari ini. Ini merupakan bentuk kemarahan dan keprihatinan oleh semakin maraknya tindak perilaku korupsi yang menggelegar diseantero negri. Seperti di Makassar aksi hari anti korupsi diperingati oleh para mahasiswa dengan melakukan aksi yang berujung bentrok oleh aparat sampai waktu malam. Begitu pula di Malang, aksi yang dilakukan oleh PMII sebagai barometer gerakan mahasiswa di Kota Malang melakukan aksi long march dari stadion gajayana sampai balai kota malang. Namun, semaraknya aksi yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat ini tidaklah dibarengi dengan semakin berkurangnya tindak korupsi di Indonesia.

Semarak hari anti korupsi di Indonesia telah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini dibuktikan dengan semakin ramainya aksi yang dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat, jika kita hanya menemui para aktivis mahasiswa dan LSM yang turun ke jalan dalam tahun 2006-an, kini aksi telah dilakukan bahkan oleh anak-anak sekolah dasar dan menengah, aksi yang dilakukanpun semakin unik dan semakin menarik. Namun sayangnya semakin menarik kreativitas aksi anak bangsa untuk menolak tindak korupsi justru dibarengi dengan kreativitas koruptor yang semakin kreatif pula dalam melakukan korupsi. Sebagaimana data yang dilampirkan oleh kompas, hampir sepanjang tahun ini setidaknya sudah lebih dari 2000 diksi yang menjadi tajuk dalam tertbitan koran kompas per hari. (Kompas, 2013). Hal ini dipertegas pula oleh KPK sebagai pemegang kendali dari penindakan korupsi di Indonesia, KPK menyebutkan hampir sekitar 16.000 laporan kasus korupsi yang masuk ke KPK. Jadi patutlah disayangkan bersama, kepedulian anak bangsa terhadap korupsi masih saja masih belum mampu memberikan peningkatan atas berkurangnya korupsi di negri kita.

Penyebab  
Telaah mengenai penyebab korupsi di Indonesia semakin hari semakin menunjukkan sebuah kajian yang komperhensif, namun pengkajian ini tidak mampu menjamin atas berkurangnya tindak korpusi di Indonesia. seperti apa yang dilontarkan Romo Magniz misalnya, beliau berasumsi bahwa penyebab maraknya korupsi di Indonesia adalah karena gagalnya pendidikan dan etika. Penyebab yang dinyatakan oleh Magniz Suseno pada dasarnya sangatlah memiliki relevansi, ketika kita melihat bagaimana peningkatan kuantitas anak sekolah namun tidak dibarengi dengan kualitas dalam sektor etika dan moral terutama. Adanya pelontarann penyebab korupsi dari Romo Magniz ini pada dasarnya merupakan pengangkatan realitas yang dijadikan menjadi asumsi teoritis atas penyebab korupsi, harusnya ada evaluasi dari pemerintah dalam programnya menanggulangi korupsi berangkat dari teori ini. Namun, yang terjadi pemerintah seolah berdiri sendiri, pemerintah seolah-olah sering mengejawantahkan asumsi-asumsi teoritis penyebab korupsi. Oleh karena itu banyaknya telaah yang mengkaji tentang penyebab korupsi di Indonesia tidaklah lantas mengurangi tindak korupsi di Indonesia.
Dialektika antar asumsi dari para pemikir kebangsaan Indonesia sejatinya mampu membawa korupsi pada tatanan yang dialogis. Seperti halnya dengan Magniz Suseno, mantan petinggi KPK Bibit Samatrianto penyebab korupsi itu ada lima, dan yang pertama adalah buruknya sistem birokrasi (tribunews.com). Meski ada perbedaan namun setidaknya dialektika ini mampu dijadikan refrensi oleh KPK dan Pemerintah. Adanya perbedaan yang dilontarkan antara Bibit dan Suseno tak lebih dikarenakan bibit yang lebih berpikir bahwa  penyebab korupsi adalah sistem, sedangkan Suseno menyebutkan etika dan pendidikan yang mengarah pada pola perilaku individu. Keberbedaan ini kita tidak akan temui kebenaran mana yang memang ideal sebagai penyebab korupsi, belum lagi asumsi-asumsi yang dilontarkan oleh para pemikir dan kelompok-kelompok sipil yang lain. Namun setidaknya pemerintah melalui KPK haruslah mampu mengakomodir melalui diskursus yang komperhensif atas penyebab kasus korupsi. Karena berawal dari mengetahui penyebablah kita akan menemukan sebuah solusi yang solutif
.
Tumpulnya Solusi
            Terlalu banyak solusi yang ditawarkan hari ini tidaklah lantas pula menyelesaikkan kasus korupsi. Dikarenakan korupsi itu telah membudaya dan telah mendegradasi etika/moral (sependapat dengan Suseno). tampaknya korupsi harus ditangani dengan tindakan yang beorientasi pada nilai-nilai kebudayaan dan moralitas. Belum ada solusi yang ditawarkan oleh pemerintah yang berorientasi terhadap budaya dan moral menyebabkan korupsi tetap bermula dari degradasi budaya dan moralitas. Era-globalisasi yang menyerang secara kasat mata pada ranah kebudayaan kita, tidak mampu menyadarkan pemerintah bahwasanya kebudayaan kita telah dirasuki oleh nilai-nilai negatif budaya barat. Masuknya budaya barat tanpa akulturasi berdampak akhir pada bentukan etika yang dimiliki oleh masyarakat. Alhasil, masyarakat kini membenarkan sesuatu yang salah dan menyalahkan sesuatu yang benar, ini semua dikarenakan interaksi budaya yang semakin absurd telah mengaburkan mata masing-masing individu untuk membedakan benar dan salah.
Penyelesaian kasus korupsi yang hari ini cenderung dimasukkan diranah yuridis ternyata masih belum mampu mengatasi korupsi. Ini terbuktikan oleh data yang dilansir oleh kompas ternyata pasca penerapan kebijakan desentralisasi yang sejatinya menginginkan sebuah kontrol masyarakat terhadap birokrasi semakin intens justru membuat korupsi semakin meningkat didaerah, hampir dari 290 orang kepala daerah melakukan tindak korupsi sepanjang 2004-2009 (Kompas, 2013). Keberadaan hukum yang selalu dijadikan rujukan untuk memberantas korupsi semakin diperparah dengan pelaksanaan penegakkan hukum yang mengejawantahkan nilai-nilai equality be for the law, ini terbukti atas terbelit-belitnya kasus Century yang digadang-gadang akan menyeret sejumlah nama seperti Boediono. Penegakkan hukum memang sejatinya mampu mengatasi segala problematika kehidupan, seperti telaah due contract social. Namun ketika penegakkan hukum tidak mampu dijalankan sejalan dengan keadilan maka hukum yang diterapkanpun menjadi absurd.
Pendekatan Budaya
            Ketika sebuah korupsi itu hadir atas bentukan lengesernya local wisdom (budaya) dan etika maka sudah seharusnya pula korupsi harus ditangani dengan pendekatan ini pula. Sebagai upaya antisipatif pendekatan ini sudah sepatutnya untuk dilaksanakan pemerintah dengan memberikan insentifikasi kepada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berorientasi pada kebaikan. Seperti halnya tempat-tempat seperti mengaji atau yang biasa disebut TPQ,  pemerintah haruslah mampu memberikan bonus bagi TPQ yang mampu mendidik siswa diluar sekolah menjadi pandai beragama. Lalu juga pemberian perlindungan atas budaya masyarakat di daerah, penyematan karakteristik lokal tidak terus di asumsikan sebagai hagemoni mayoritas terhadap kaum minoritas melainkan pula harus diartikan sebagai justifikasi atas perlindungan budaya masyarakat sekitar.
            Jika pendekatan ini telah dilaksanakan maka ada yang namanya dekonstruksi budaya dan etika kita. merubah kembali budaya kita yang sesuai dengan kearifan lokal akan lebih mampu menjawab solusi yang lebih bersifat antisipatif dan long term terhadap tindakan korupsi. Di China misalnya, bentukan budaya mereka yang lebih cenderung dipengaruhi confusianisme menjadikan para pemimpin China memiliki budaya tanggung jawab yang besar, hal ini dibuktikan dengan perkataan salah satu Perdana Mentri China Zhu Rangji sebagai kalimat penutup pula dalam tajuk diskusi kita kali ini. Beliau mengatakan “saya sediakan 100 peti mati, 99 untuk koruptor dan satu untuk saya, bila saua berbuat sama”.

*Muhammad Luthfil Hakim

Penghuni kamar nomer dua Padepokan Kembang Kertas

Comments

Popular posts from this blog

LPJ Divisi Pendidikan Penalaran HIMAP

Mencerdaskan Ospek