Filsafat dan Sebuah Perjalanan
Mengerti filsafat
membutuhkan banyak waktu. Waktu untuk berfilsafat adalah waktu untuk membingkai
sebuah perjalanan dalam kehidupan. Sehingga untuk mengetahui akan makna sebuah
perjalanan kehidupan, manusia dituntut untuk berfilsafat sepanjang
hidupnya.Meskipun beberapa orang mati gara-gara filsafat. Beberapa diantaranya
adalah Copernicus, Galileo, Hypatia, Tan Malaka dan Socrates.
Socrates, Hampir
sepanjang hidupnya ia habiskan waktu dengan duduk dialun-alun dan berfilsafat,
ia gunakan alun-alun sebuah kota di Yunani sebagai Public Sphare atau
Ruang Publik. Di tempat itulah ia habiskan waktu untuk berdiskusi tanya jawab
dengan orang-orang kota di masa Yunani Kuno. Hasilnya, Ia mampu merubah pola
pikir masyarakat masa lalu, ia merubah paradigma ketertundukan masyarakat akan
doktrin kerajaan. Ia munculkan dunia kritis berbasis ilmu yang mengacu pada
pemikiran. Hingga pada suatu hari kerajaan merasa Socrates sebagai
sebuah keterancaman, sampai ia dihukum dengan cara diracuni di Alun-alun. Dan Alun-alun
adalah sebuah tempat penahbisan perjalanan kehidupannya. Pada masa hidupnya ia
menggunakan metode bertanya jawab hingga menimbulkan lawan bicaranya
kebingungan, tak heran jika ia dijuluki orang gila pada waktu itu. Penggunaan
metode itu ternyata merupakan dekonstruksi socrates akan metode yang digunakan
oleh para guru-guru kerajaan yang menerangkan ilmu secara dogmatis, alhasil
ilmu yang dilahirkan terkesan otoriter atau hanya berada dalam satu sudut
pandang. Adapun pandangan yang dilahirkan oleh guru-guru kerajaan waktu itu
cenderung merupakan sebuah artikulasi kepentingan kekuasaankerajaan. Sedangkan Socrates,
ia mengajak setiap orang bermain dalam pikiran membuahkan pemikiran kritis.
Karena itu akhirnya Socrates dianggap berbahaya dan dibunuh. Namun, kini
Socrates masih hidup. Metodenya yang ia pergunakan itu kini dijadikan
rujukan dalam setiap ruang-ruang diskusi. Socrates Method.
Bernasib sama seperti
seorang Socrates adalah Copernicus. Dalam perjalanan hidupnya
filsuf alam ini menemukan sesuatu yang baru namun juga sesuatu yang tabu. Ia
menemukan sebuah asumsi teori yang bersebrangan dengan Gereja pada waktu itu.
Ia temukan sebuah asumsi, yang mana hakikat dari pusat tata surya bukanlah
bumi, seperti yang telah diagung-agungkan oleh gereja. Pada dasarnya
mataharilah yang menjadi pusatnya atau yang disebut Heliosentris. Merasa
terancam akan ajarannya, Gereja menghukum Copernicus dengan hukuman
gantung.
Tak berjangka waktu lama,
lahirlah Galileo. Seorang penemu teleskop. Sepanjang perjalanan hidupnya
batinnya terkoyak. Penemuan Copernicus beberapa waktu silam tentang Heliosentris
ingin ia pertegas. Namun konsekuensi dari itu ia harus timpa ancaman dari
Gereja. Takut bernasib sama seperti Copernicus, ia ingin buah hasil
penemuannya ini berjalan secara perlahan-lahan. Maka itu ia hasilkan terlebih
dahulu sebuah teleskop. Lalu dalam opininya ia lantunkan sebuah asumsi bahwa
bumi, bintang dan planet sesungguhnya yang mengitari matahari. Namun, tetap saja
Gereja bersebrangan dengan Galileo. hingga ia akhirnya harus mendekam dibawah
naungan jeruji besi. Dan disitu pulalah seorang Galileo memejamkan mata untuk
selama-lamanya. Namun, pemikirannya saat ini justru berpijar karena kebenaran
sesungguhnya berpihak kepada seorang Galileo. Hanya waktu yang tak disatu pihak
dengannya.
Giliran kita saatnya
berlabuh di Benua Afrika. Alkisah, sebagai sebuah bangsa Mesir dikenal dengan
sebuah bangsa yang menjadi pusat peradaban ilmu pengetahuan. Tepatnya di Kota
Iskandariah. Kegelapan eropa tidak sampai menghampiri mesir, gemerlap cahaya
menjadi sebuah simposium ilmu pengetahuan berkembang pesat seperti air dalam
kehidupan. Hingga konon ceritanya, disana terdapat sebuah perpustakaan yang
menyimpan ribuan buku. Lalu hidup seorang Hypatia, seorang perempuan
terbaik dan tersohor karena ilmunya. Jarang kita temukan seorang perempuan
memilih jalan filsafat sebagai lajur kehidupan, dan Hypatia memilih itu.
Namun, pilihannya tak digandrungi oleh kelompok dari belahan lain. Merasa iri
dengan kemajuan peradaban Mesir, kelompok itu akhirnya mematikan peradaban
mesir dengan membakar Perpustakaan yang telah menjadi landmark,
sekaligus Hypatia sebagai tokoh kenamaan. Hypatia dituduh
menyebarkan sebuah kepercayaan bernama Pagan.
Beralih ke asia bagian
tenggara, di Indonesia tepatnya. Kita akan menemukan seorang tokoh filsuf besar
bernama Tan Malaka. Lahir di Sumatera dan Wafat entah dimana. Sepanjang
hidupnya, raga Tan Malaka hampir mengelilingi seluruh penjuru dunia di
masa-masa saat Imprealisme dan Kolonialisme menghantui banyak negara. Begitupula
alam fikirannya, berputar-putar dalam dunia filsafat hingga ia berhasil menulis
mahakaryanya bernama Madilog (Matrealisme Dialektika dan Logika). Namun,
sayang ia dianggap penyebar komunisme oleh kekuasaan suatu rezim. Ia wafat
entah dimana. Kekuasaan rezim itu membuatnya harus wafat sebelum pemikirannya
banyak dimengerti orang. Namun sudah ia katakan dalam tulisannya, pemikiran dan
idealismenya masih tetap akan berteriak kencang meskipun ia sudah ada didalam
tanah.
Jangankan hanya
menimbulkan kematian bagi manusia, filsafat juga nampaknya mampu membuat Tuhan
terbunuh. Tuhan mati gara-gara filsafat akan kita temukan dalam perjalanan
filsafat seorang bernama Nietzsche. Dalam pemikiran yang ia tuangkan dalam
tulisannya, Ia mengatakan“got is tot! Gott bleibt tot! Uund wir haben in
getotet: Tuhan telah mati! Kita telah membunuhnya”. Dalam mahakaryanya Sabda
Zarathustra.
Filsafat memang
menakutkan. Namun Karena berfilsafat yang membuat orang itu menjadi ditakuti,
hingga mereka harus dijuluki gila atau sesat dan berujung pada hukuman
kematian. Filsuf-filsuf yang wafat itu merupakan filsuf yang tidak didukung
oleh waktu di masa hidupnya. Tapi keadilan selalu berbicara. Semasa hidup waktu
memang sedang tak berpihak kepada mereka, namun waktu menjawab keadilan ketika
mereka telah bersemayam.
Cerita tentang kematian
seakan menakutkan dan menyeramkan. Namun berfilsafat adalah mengabdi untuk
keindahan dan keabadian kehidupan. Bahkan seorangGoethe pernah menyatakan“orang
yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa
memanfaatkan akalnya”. Kalimat itu dibubuhkan Jostetin Gaarder dalam lembaran
awal Novel Filsafat Dunia Sophie.
Untuk terus berenang dalam
filsafat, kita juga harus butuh yang namanya pulau impian. Karena suatu saat
kita harus menggapai apa yang hendak kita gapai dan terlalu lama berenang juga
mampu menenggelamkan.Juga tentang batasan. dalam berfilsafat kita memang sedang
dibubuhi sebuah keluasan ilmu pengetahuan seperti apa yang dikatakan oleh Tan
Malaka dalam Madilog, “Tidak ada batas pengetahuan dan tidak pula
batas-batasnya persoalan. Inilah bagian dari kehidupan manusia dan bagian dari
dunia pikiran”. Berbeda dari itu, sejatinya sejauh kita mampu berfikir atau
berfilsafat, disitu pulalah batasan itu hadir. Fikiran kita terbatas, Karena
sepanjang kita berfikir sepanjang itulah kita terbatas. oleh karena itu, kita
berfikir dan berfilsafat harus memiliki batasan. Seperti halnya jalan dan
sebuah perjalanan. Kita harus tahu dimana lajur kita atau jalan kita, karena
jalan punya batas agar kita tidak tersesat.
Muhammad Luthfil Hakim
Joker, 31 Januari 2014
Joker, 31 Januari 2014
Comments
Post a Comment